Ini Alasan Mengapa Dewan Kehumasan Dibutuhkan

Fenomena hoax yang belakangan makin marak serta dibukanya keran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kian meningkatkan kebutuhan akan profesi Public Relations (PR) atau humas. Sementara itu, profesi humas di Indonesia juga butuh sebuah lembaga independen yang bertugas membina pertumbuhan dan perkembangan kehumasan nasional.

Demikian ditegaskan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho dalam Konvensi Humas Nasional (KNH) Perhumas di Bogor. “Kalau wartawan punya Dewan Pers, profesi humas yang saat ini sedang berkembang juga butuh Dewan Kehumasan yang menjadi payung dari semua wakil-wakil organisasi humas dan ahli-ahli dalam bidang kehumasan,” ucapnya.

Dengan keberadaan lembaga tersebut, ia berharap, dunia kehumasan di Tanah Air akan semakin maju dan kian membantu mengatasi beberapa permasalahan komunikasi masyarakat saat ini, seperti Hoax dan dampak teknologi komunikasi lainnya.

"Menjelang tahun politik, Dewan Kehumasan misalnya, bisa mengeluarkan Kode Etik Profesi Kehumasan agar para praktisi humas yang terjun membela kandidat politik tertentu memiliki etika profesi yang membatasi sepak terjangnya agar tidak kebablasan," ia menyarankan.

Suharjo yang juga merupakan satu-satunya wakil Indonesia untuk Public Relations Organisation Internatinal (PROI), sebuah organisasi konsultan humas terbesar di dunia ini, juga menandaskan bahwa saat ini kode etik untuk kehumasan hanya terdapat di dalam masing-masing organisasi kehumasan dan hanya mengikat kepada anggotanya saja.

“Semua praktisi humas perlu dibatasi dengan kode etik profesi seperti layaknya profesi yang lain. Wartawan punya Kode Etik Jurnalistik, konsultan iklan ada Kode Etik Periklanan, nah Humas harus punya Kode Etik Kehumasan. Sekarang yang kita punya hanya kode etik dalam organisasi humas. Nah tidak semua tergabung di organisasi, mereka siapa yang mengikat etikanya?” tegasnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, diperlukan sebuah kode etik profesi yang mengikat semua praktisi humas secara nasional tanpa terkecuali, agar praktisi humas tidak menjadi spin doctor atau tukang pelintir isu yang bisa berpotensi menciptakan fake news atau hoax.

"Mulai tahun depan sudah mulai panas pilkada. Praktisi atau konsultan humas ada yang bela satu pihak, yang lain bela pihak lawan. Ini perlu etika profesi yang membatasi atau kita akan saling perang informasi dengan segala jurus tanpa ada batasan,” jelasnya.

Masih menurut dosen Universitas Indonesia itu, para Ketua Asosiasi Kehumasan Indonesia, PR Guru Indonesia, serta Kementrian Kominfo harus duduk bersama merumuskan Dewan Kehumasan. “Demi kepentingan bangsa, saya yakin semua pihak akan mendukung agar dunia kehumasan di Tanah Air semakin berkembang, dan dengan kode etik profesi humas kita juga tidak saling perang isu untuk kepentingan klien masing-masing," tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)