Ini Solusi agar Kinerja Ekspor Kian Menguat

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia pada periode Januari–September 2018 mencapai US$ 134,99 miliar. Itu artinya, meningkat 9,41% jika dibanding periode yang sama tahun 2017. Sementara itu, ekspor nonmigas mencapai US$ 122,31 miliar atau naik 9,29%. Demikian data yang dirilis Biro Pusat Statistik (BPS).

Sayangnya, meski mengalami pertumbuhan, kinerja ekspor Indonesia turut dipengaruhi oleh perang dagang Amerika Serikat (AS)-China. Faktor itu juga ikut mendorong sejumlah negara tujuan ekspor, seperti India, menerapkan proteksionisme berlebihan bea masuk di atas 50% untuk produk CPO asal Indonesia. Isu itulah yang tengah diangkat Forum Warta Pena di acara diskusi bertajuk "Potensi Ekspor di Tengah Pelemahan Rupiah" pada hari ini (7/11), di Puri Denpasar Hotel, Jakarta.

Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudhistira Adinegara, yang merupakan salah satu pembicara pakar pada diskusi tersebut, mengungkapkan bahwa ada beberapa solusi bagi pemerintah agar dapat meningkatkan nilai ekspor di tengah persoalan global dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Salah satu solusinya adalah dengan memberikan pelonggaran setiap pungutan, khususnya ekspor CPO diturunkan menjadi US$ 15-20 per ton, dan memperluas pasar baru seperti Afrika Tengah, Eropa Timur, dan Rusia. Terkait kendala logistik, pemerintah bisa memberikan keringanan pajak (tax holiday) untuk forwarder atau jasa ekspor dari Indonesia ke Afrika misalnya,” saran Bhima.

Diakuinya, sejauh ini pemerintah sudah banyak memberikan insentif berupa tax holiday dan tax allowances. Sayangnya, insentif yang diberikan terlalu umum dan tidak menyasar kebutuhan sektoral yang spesifik. “Problem lainnya ada pada proses perizinan dan insentif fiskal yang belum terintegrasi, serta lamanya pengurusan pajak bagi para pelaku usaha termasuk eksportir,” tutur Bhima.

Masalah lainnya yang harus dihadapi, menurut Bhima, adalah belum terintegrasinya masing-masing kementerian terkait dalam memberikan kemudahan bagi para eksportir. “Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian masih punya ego sektoral. Yang satu melihat kalau diberi banyak insentif fiskal nanti target penerimaan pajak jangka pendek berkurang. Belum akur,” ucapnya.

Sementara itu, pembicara lainnya, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Hadi Joewono sependapat dengan Bhima bahwa salah satu upaya untuk mendorong nilai ekspor adalah dengan memasuki pasar baru ekspor.

"Ekspor dapat dilakukan perusahaan besar maupun perusahaan berskala UKM (Usaha Kecil Menengah). Untuk industri atau perusahaan besar sangat bermanfaat diberikan insentif pajak termasuk tax holiday. Sementara untuk perusahaan kecil dan UKM yang dibutuhkan adalah dorongan untuk memulai ekspor dan mengefektifkan fasilitas pembayaran ekspor," urai Handito.

Cara lainnya yang juga perlu dilakukan pemerintah agar pasar ekspor bisa tumbuh, salah satunya dengan peningkatan daya beli masyarakat. “Upaya menggairahkan dunia usaha berarti mendorong pertambahan omset penjualan dengan peningkatan daya beli masyarakat untuk produk yang dijual di dalam negeri,” yakin Handito.

Ditambahkan Melani L. Suharli, Pembina Forum Warta Pena, pemerintah memang dituntut harus bekerja lebih keras untuk mengatasi permasalahan ekspor. Indonesia juga harus lebih terbuka dalam masuknya arus investasi asing, khususnya berorientasi ekspor. "Hal itu juga bisa menyembuhkan neraca dagang Indonesia yang defisit," ia menekankan.

"Kenyataannya, pada era pasar bebas sekarang, daya saing Indonesia rendah karena rendahnya nilai tambah produksi dan terbatasnya basis produksi. Nilai ekspor Indonesia mengalami penurunan pasca diberlakukannya AFTA, sedangkan impor barang konsumsi meningkat sejak booming e-commerce," lanjut Melani.

Sulitnya produk Indonesia masuk ke pasar ekspor, menurutnya, juga disebabkan derasnya hambatan non tarif di negara lain di samping minimnya standard dan kualitas produk Indonesia. "Sementara produk impor banyak membanjiri Indonesia karena pemerintah tidak banyak memberlakukan hambatan non tarif di tengah pasar bebas yang semakin liberal dan terbuka. Konsekuensinya, tingginya impor tersebut berdampak pula pada pelemahan nilai rupiah," tutup Melani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)