MIX.co.id - Kerugian ekonomi Indonesia terhadap produk atau merek palsu terus bertumbuh tiap tahunnya. Studi “Economic Impacts of Counterfeiting and Piracy in Indonesia, 2020” yang dirilis Mayarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mengungkapkan, nilai kerugian ekonomi Indonesia karena produk palsu pada tahun 2010 mencapai Rp 37 triliun. Nilai kerugian ini terus bertumbuh menjadi Rp 65,1 triliun pada 2015. Bahkan, di 2020, nilai kerugian ekonomi Indonesia akibat produk palsu mencapai Rp 291 triliun.
Hal itu memperkuat fakta bahwa aksi pemalsuan (counterfeiting) melalui aktivitas produksi hingga distribusi atau penjualan barang tanpa hak dan ijin atas merek terdaftar milik orang lain, masih terus terjadi di Indonesia. Bahkan, tidak hanya di Indonesia, hal ini menjadi isu global yang harus ditanggapi secara serius oleh seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha, dan tentunya para konsumen.
Oleh karena itu, dibutuhkan kampanye edukasi yang masif untuk menekan aksi pemalsuan sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya mematenkan merek. Mencermati ancaman tersebut, International Trademark Association (INTA) bersama dengan K&K Advocates-Intellectual Property menggelar program edukasi berupa webinar bertajuk “Anti-Counterfeiting Issues in Indonesia – Lesson Learned”, pada hari ini (2/9).
Pada kesempatan itu, sejumlah pembicara dihadirkan, di antaranya Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., A.C.C.S., Direktur Jenderal Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum, dan HAM Republik Indonesia; Dr. Justisiari Perdana Kusumah, S.H., M.H., Managing Partner K&K Advocates-Intellectual Property; Yanne Sukmadewi, Wakil Ketua Indonesian Corporate Counsel Association; dan perwakilan dari Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Widyaretna Buenastuti.
“Webinar ini juga bertujuan untuk memberikan informasi tentang kepastian dan perlindungan hukum bagi para pemegang kekayaan intelektual serta memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pelaku usaha dan masyarakat mengenai isu pemalsuan yang bertentangan dengan UU Merek di Indonesia,” jelas Dr. Justisiari Perdana Kusumah, Managing Partner K&K Advocates-Intellectual Property.
Lebih jauh ia menerangkan, pemalsuan masih seringkali dilihat sebagai masalah khusus bagi para pemilik merek saja. Padahal, sesungguhnya masalah ini memiliki kompleksitas yang tidak dapat diselesaikan oleh para pemegang kekayaan intelektual saja. Selain itu, pemalsuan juga sudah barang tentu memiliki dampak dan menimbulkan masalah langsung bagi pemegang kekayaan intelektual dan konsumen, sehingga hal tersebut menimbulkan juga dampak sosial-ekonomi yang merugikan semua pihak.
Sementara itu, menurut Yanne Sukmadewi, Wakil Ketua Indonesian Corporate Counsel Association, pemilik atau pemegang kekayaan intelektual akan sangat dirugikan atas aksi pemalsuan, karena mereka berpotensi kehilangan royalti dan nilai atas kekayaan intelektual. “Dampak langsung adalah kehilangan reputasi, investasi, keuntungan, dan penjualan. Dan sisi lain, pemerintah pasti kehilangan pendapatan pajak,” yakinnya.
Diakui Widyaretna Buenastuti, perwakilan dari MIAP, MIAP pernah melakukan survey kepada end-user dan seller di tujuh industri yang ada di Jakarta dan Surabaya pada 2014. Hasilnya, kerugian ekonomi akibat aksi pemalsuan di Indonesia mencapai Rp 65,1 triliun. “Oleh karena itu, MIAP rutin menggelar program edukasi untuk menekan aksi pemalsuan ini,” ucapnya.
Salah satu upaya yang telah dilakukan MIAP untuk membangun kesadaran akan pentingnya hak paten merek adalah dengan menggelar program edukasi pada segmen muda. “Pada 2014 misalnya, MIAP pernah menggelar program MIAP Public Service Advertising Competition di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Yogyakarta,” lanjut Widyaretna.
Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., A.C.C.S., Direktur Jenderal Direktorat Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum, dan HAM Republik Indonesia, menerangkan, Pemerintah telah menetapkan pengaturan terhadap pelanggaran merek dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek).
“Untuk itu, ke depan, kampanye melawan pemalsuan harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mencegah dampak dari kegiatan pemalsuan itu sendiri oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan,” pungkasnya.