MIX.co.id - Secara global, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan penderita lepra terbanyak, setelah India dan Brazil. Pada 2019, jumlahnya naik 2,48% atau menjadi 17.439 kasus, jika dibandingkan tahun sebelumnya. Diungkapkan Dr. dr. Yunia Irawati, Sp.M(K), Head of Trauma Center sub Spesialis Divisi Plastik dan Rekonstruksi Mata JEC Eye Hospitals and Clinics sekaligus staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM, penyakit lepra merupakan penyakit infeksi dengan frekuensi komplikasi okular yang cukup tinggi.
“Kelainan mata pada penyandang lepra, termasuk lagoftalmus paralisis, membutuhkan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat guna mencegah gangguan penglihatan yang bisa berakibat kebutaan. Keterbatasan akses dan biaya untuk berobat menyebabkan penyandang lepra baru mengunjungi penyedia layanan kesehatan ketika sudah mengalami komplikasi yang mengancam penglihatan,” ungkapnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, teknik modifikasi tarsorafi terbukti sama efektifnya dengan metode gold weight implant, yang paling sering digunakan untuk menangani lagoftalmus paralisis pada penderita lepra. “Bahkan, dibandingkan metode tersebut, teknik ini juga teruji lebih efisien dari sisi komplikasi dan biaya operasi. Harapan saya, teknik modifikasi tarsorafi segera menjadi langkah penanganan yang bisa menjangkau lebih banyak penyandang lepra dari berbagai kalangan,” ucap Dr. Yunia.
Pembahasan mengenai penelitian tersebut tertuang dalam disertasi “Perbandingan Efektivitas dan Efisiensi antara Teknik Modifikasi Tarsorafi dengan Teknik Gold Weight Implant sebagai Tatalaksana Operatif Lagoftalmus Paralisis pada Penderita Lepra”. Pemaparan hasil penelitian secara rasional, sistematis, dan empiris pada Ujian Terbuka, Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang berlangsung hari ini (9/8) secara virtual.
Gold weight implant telah dikenal sejak 1958 sebagai teknik dengan tingkat kesuksesan tinggi untuk penanganan lagoftalmus paralisis. Teknik ini menjahitkan implan emas pada bagian kelopak mata atas sehingga penderita lepra dengan lagoftalmus paralisis bisa kembali menutupkan matanya secara pasif. “Sayangnya, biaya tindakan metode ini memang cenderung mahal dan masih bisa berdampak komplikasi setelah pemasangan implan, seperti inflamasi, alergi, ekstrusi, migrasi, ptosis, dan astigmatisme. Pada sekelompok orang, penggunaan emas sebagai bahan implan juga terhalangi tradisi atau keyakinan,” imbuhnya.
Sementara itu, hasil penelitian memperlihatkan bahwa modifikasi tarsorafi memberi tingkat efektivitas yang sama dengan teknik gold weight implant sebagai tatalaksana operatif lagoftalmus paralisis pada penderita lepra. Durasi atau lama waktu tindakan yang dibutuhkan metode modifikasi tarsorafi juga sama efisiennya dengan teknik gold weight implant. Namun, modifikasi tarsorafi lebih unggul dari segi efisiensi biaya dan risiko komplikasi yang mungkin terjadi.
“Bagi penderita lepra yang sebagian besar berasal dari masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah dan pekerjaan yang tidak tetap, tindakan penanganan melalui gold weight implant tentunya membutuhkan pendanaan yang memberatkan. Dengan pengembangan lebih lanjut, modifikasi tarsorafi dapat menjadi alternatif tatalaksana operatif lagoftalmus paralisis untuk menjangkau penderita lepra dari kalangan yang lebih membutuhkan,” ujarnya.
Menanggapi penelitian dan pencapaian gelar Doktor tersebut, Dr. Johan A. Hutauruk, SpM(K), Presiden Direktur JEC Eye Hospitals and Clinics, menegaskan, “JEC Eye Hospitals and Clinics terus mendukung upaya-upaya pencegahan gangguan penglihatan masyarakat Indonesia yang bisa berdampak pada kebutaan sehingga mempengaruhi kualitas hidup, tak terkecuali para penyandang lepra.”
Tidak hanya melalui kemutahiran teknologi, lanjutnya, JEC juga menerapkan temuan berbasis sains yang progresif, guna memberi solusi pada tantangan yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia. Antara lain, melalui temuan dari hasil penelitian Dr. dr. Yunia Irawati, Sp.M(K), JEC memperkenalkan teknik modifikasi Tarsorafi yang lebih ekonomis. “Bersama jajaran praktisi yang mumpuni, seperti Dr. dr. Yunia Irawati, Sp.M(K), JEC optimis mampu melanjutkan kontribusi kami pada dunia kesehatan mata di Tanah Air,” tutup Dr. Johan.
Editor: Dwi Wulandari (www.mix.co.id)