Katadata Forum kembali menggelar program webinar Virtual Series bertajuk “Aturan Turunan UU Cipta Kerja: Menelisik Komitmen Perlindungan Lingkungan Hidup” pada hari (10/2). Pada kesempatan itu, sejumlah pembicara dihadirkan, antara lain Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati, Tim Serap Aspirasi Lingkungan Hidup Prof. Budi Mulyanto, Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Ari Sujianto, dan Prof. Andri. G. Wibisana Ph D., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tema tersebut dihadirkan lantaran sejumlah pro dan kontra bermunculan seiring proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu. Undang-undang yang juga disebut Omnibus Law Cipta Kerja ini, dianggap memiliki banyak dampak negatif bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati. Tak heran, jika isu ini kemudian menjadi perhatian publik dan pemerhati lingkungan.
Diungkapkan Direktur Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Ari Sujianto, Peraturan Pemerintah yang diganti merupakan izin lingkungan, pengelolaan kualitas dan pencemaran air, udara, hingga Limbah B3. Maka izin usaha tidak memasukkan persyaratan lingkungan, namun telah tercantum dalam izin lingkungan.
"Pada saat analisis dampak lingkungan, itu melibatkan uji kelayakan. Tidak dengan mengurangi kualitas lingkungan, mengalihkan beban serta tetap menjaga standard, integrasi, dan pemahaman konsep," jelas Ari.
Lebih jauh ia menguraikan, UU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen amdal. Menurut Ari, pelibatan masyarakat dilakukan secara proporsional.
“UU Ciptaker memberikan perhatian lebih terhadap kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha oleh pemrakarsa kegiatan dengan tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM pembina masyarakat terkena dampak,” ujarnya.
Menurutnya, pengaturan pelibatan masyarakat di luar masyarakat terkena dampak, langsung dilakukan oleh pemerintah melalui Tim Uji Kelayakan (TUK). Di UU Cipta Kerja, dalam penyusunan amdal, masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang terdampak langsung dan LSM pembina langsung masyarakat.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati menegaskan bahwa keputusan dalam UU Cipta Kerja tidak melalui partisipasi masyarakat. Akhirnya, membuat dampak pada lingkungan di mana masyarakat tinggal.
"Kami bisa mengatakan bahwa proses partisipasi itu sangat rendah, non participant, karena tidak ada keterlibatan masyarakat, hanya ada pada yang memiliki kepentingan atau substansi," ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Prof. Andri. G. Wibisana Ph D, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, pemerintah kurang mengontrol izin lingkungan. "Izin dalam bidang lingkungan itu penting untuk mengontrol eksternalitas. Jadi, izin lingkungan lebih penting dibanding izin usaha," tutupnya.