Isu interkoneksi jaringan rupanya masih menjadi polemik di industri telekomunikasi. Sampai akhir tahun 2016 lalu, masih belum ada kesepakatan dari para operator selular terkait tarif interkoneksi. Tak mengherankan, jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya membuat Panja Interkoneksi guna menyelesaikan polemik tersebut. Bahkan, pemerintah pun merasa perlu turun tangan untuk ikut mencari solusinya.
Diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, ada beberapa poin yang harus ditegaskan pemerintah terkait polemik interkoneksi ini. Pertama, interkoneksi wajib diberikan oleh semua operator, karena itu merupakan kewajiban operator. Sementara itu, pelanggan juga memiliki hak untuk mendapatkan interkoneksi.
“Sejatinya, perusahaan tak akan berkembang tanpa interkoneksi. Kalaupun berkembang, maka perkembangannya tidak cepat,” tegas Rudiantara di sela-sela kegiatan seminar 'Membedah Efesiensi Tarif Interkoneksi 2017' yang digelar Indonesia Technology Forum hari ini (7/3) melalui rekaman video.
Kedua, dari sisi bisnis, lanjutnya, interkoneksi adalah B2B (Business to Business). Artinya, ada business arrangement. Tentu saja, B2B ini bergantung pada operator yang mau ber-interkoneksi. ”Perbedaan dalam cara bisnis operator tidak boleh menjadi penghalang interkoneksi. Seandainya tidak ada kesepahaman di antara operator terkait interkoneksi ini, maka pemerintah dapat memberikan rujukan yang berbasis pada kepentingan pelanggan dan kemajuan industri telekomunikasi,” tegasnya.
Ketiga, dari sisi teknikal evolusi teknologi telekomunikasi, maka ke depan akan mengarah ke IP (internet protocol) switched sehingga interkoneksi berbasis circuit switched kemungkinan akan hilang dalam beberapa tahun ke depan.
Keempat, pemerintah ingin industri telekomunikasi menjadi bisnis yang berkelanjutan. Itu artinya, kata Rudiantara, layanan telekomunikasi harus affordable bagi masyarakat. “Hal itu bisa terjadi, jika industri makin lama makin efesien. Oleh karena itu, regulatory cost perlu direstrukturisasi,” tuturnya.
Kelima, tambah Rudiantara, kewajiban operator ke depan adalah tidak hanya menempatkan coverage, tetapi juga memantapkan QoS (Quality of Service) dalam melayani kebutuhan konsumen.
”Tujuan pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi adalah ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggara telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap menjamin ketersediaan infrastruktur. Sedangkan dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan,” jelas Rudiantara.
Sementara itu, dituturkan Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo Benyamin Sura, saat ini pihaknya masih terus mengkaji dengan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) terkait besaran interkoneksi. “Kami sedang melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen guna menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu saja membutuhkan data-data dari operator. Dengan verifikator independen, kami berharap besaran nilai interkoneksi dapat diterima oleh semua pihak,” ujarnya.
Ditambahkan I Ketut Prihadi Kresna, salah satu komisioner BRTI, pihaknya jelas mendukung industri telekomunikasi yang sehat. “Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya untuk menciptakan persaingan industri telekomunikasi yang sehat,” tandasnya.
Pembicara lainnya, Bambang P. Adiwiyoto selaku pengamat yang juga mantan anggota KPPU, menyatakan sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah LRIC (Long Run Incremental Cost). “Dengan metode ini seharusnya dilakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi dengan berpegang pada dasar tarif operator yang paling efisien. Artinya, konsumen bisa menggugat kalau dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu bukan dari hitungan paling efisien,” ucapnya.
Bambang pun menyarankan bahwa sebaiknya tarif interkoneksi tidak menggunakan batas bawah, tetapi menggunakan batas atas. Sejatinya, penurunan tarif interkoneksi nantinya akan membuat trafik atau lalu lintas telepon meningkat. Dengan demikian, pendapatan operator tidak akan terlalu tergerus dengan penurunan tarif interkoneksi.