Ketika Ketimpangan Gender Menghambat Perempuan Menjadi Pemimpin Perusahaan

MIX.co.id - Budaya paternalistik yang ada di Indonesia membuat perempuan dianggap kurang tepat untuk menjadi pemimpin tertinggi dalam satu organisasi atau perusahaan. Selain itu, masalah stereotip juga menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan dalam menggapai impian untuk menjadi pemimpin di suatu perusahaan.

Isu tersebut terungkap dalam acara diskusi Katadata bertajuk "Breaking The Glass Ceiling", yang digelar secara virtual pada hari ini (8/3). Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Maya Juwita menegaskan, "Perempuan dianggap kurang bisa dalam mengaktualisasi diri, sehingga jadi penghambat untuk memperoleh promosi. Lalu, perempuan dianggap cenderung lebih sulit membangun jaringan dan relasi. Perempuan juga sering dianggap lebih baik berdiam diri di rumah sebagai ibu rumah tangga ketimbang bekerja."

Stereotip yang paling parah, lanjut Maya, kedudukan perempuan dipandang lebih rendah ketimbang kedudukan laki-laki. Anggapan-anggapan seperti itu masih saja dirasakan atau berlaku di lingkungan perusahaan, sadar maupun tidak sadar. Bahkan, posisi-posisi kepemimpinan atau nilai-nilai kepemimpinan di suatu perusahaan kerap kali dikaitkan dengan maskulinitas dan laki-laki. Perempuan dianggap tidak punya tempat karena tak memiliki nilai-nilai yang selama ini dimiliki oleh laki-laki. "Itu sumber masalahnya kalau kita bicara tentang apa yang terjadi dengan fenomena ketimpangan gender atau glass ceiling," ucap Maya.

Perempuan juga selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit, bagaikan buah simalakama. Kalau perempuan maju atau sukses, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, kalau perempuan tidak mencoba untuk maju, maka akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya. "Banyak faktor terkait dengan fenomena glass ceiling, tapi faktor lingkungan sangat berpengaruh kenapa perempuan tidak bisa mencapai puncak pimpinan tertinggi," ujarnya.

Meski fenomena glass ceiling terjadi di mana-mana, namun tidak berlaku di lingkungan Investree. Perusahaan fintech ini selalu menerapkan keadilan bagi seluruh karyawannya, baik perempuan maupun laki-laki.

Chief Marketing Officer Investree Astranivari menuturkan, kebijakan tertulis untuk perempuan seperti kesempatan cuti pemeriksaan kehamilan hingga melahirkan sudah pasti diterapkan di Investree. Kemudian juga bagi sang suami, diberikan cuti mendampingi melahirkan istrinya hingga cuti menikah.

Namun, di luar aturan tertulis tersebut, kesempatan kerja terbuka lebar bagi seluruh karyawan tanpa memandang gender. Mulai dari proses rekrutmen karyawan, tanggung jawab pekerjaan, maupun kesempatan promosi atau naik jabatan. "Hal-hal itu kami berikan atau berlaku sama untuk perempuan ataupun laki-laki," yakin Astranivari.

Investree juga memimalisir terjadinya ketimpangan dalam proses bisnis. Ia mencontohkan, jika terdapat karyawan menjalankan tugas ke luar kota, atasan dan anak buah harus terdapat perempuan dan laki-laki. Bila atasannya perempuan, maka anak buahnya laki-laki, begitu pun sebaliknya.

"Dari sisi pemilihan leadership, misalnya untuk menjadi unit leader atau mengisi promosi posisi tertentu, kami juga memberikan kesempatan yang sama untuk setiap orang yang memang punya kompetensi untuk menempati jabatan tersebut. Investree memberikan keleluasaan semacam itu," tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)