Polemik susu kental manis (SKM) yang sempat viral di media maupun media sosial dalam beberapa bulan terakhir, rupanya menarik perhatian para akademisi maupun peneliti gizi dari berbagai perguruan tinggi. Untuk itu, Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia memutuskan untuk menggelar seminar sehari bertajuk “Literasi Gizi: Belajar dari Polemik Kasus Susu Kental Manis,” pada hari ini (10/8) di Universitas Indonesia, Depok.
Melalui seminar itu ditampilkan berbagai fakta terkait susu kental manis. Antara lain, fakta bahwa dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, konsumsi susu di Indonesia masih tergolong rendah. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2017 konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 16,5 liter/kapita/tahun. Angka itu tercatat sangat kecil jika dibandingkan dengan data USDA Foreign Agricultural Service 2016 (PDF) untuk Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter).
Sementara itu, produksi susu segar di Indonesia sendiri baru mencapai 920.093,41 ton pada 2017. Angkanya hanya naik 0,81% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 912.735,01 ton. Dapat disimpulkan, budaya minum susu di Indonesia masih rendah. Dan, dari berbagai jenis susu yang beredar di pasaran, susu kental manis merupakan jenis susu yang paling banyak dibeli oleh masyarakat Indonesia.
Diungkapkan Pakar gizi sekaligus Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia (PKGK UI) Ir. Ahmad Syafiq M.Sc., Ph.D, susu kental manis memiliki kandungan energi yang diperlukan untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat, termasuk anak-anak.
“Susu kental manis tidak masalah jika dikonsumsi secara proporsional. Tapi kalau sudah berlebih, apapun juga tidak boleh. Kandungan lemak dan gula dalam susu kental manis juga sudah diatur dalam Perka BPOM 21/2016 tentang Kategori Pangan dan Standard Nasional Indonesia Nomor 2971: 2011 tentang susu kental manis. Namun perlu diingat, susu kental manis tidak cocok untuk bayi (0-12 bulan) dan bukan untuk menggantikan ASI,” tegas Ir. Ahmad.
Fakta lainnya adalah hasil survei Diet Total tahun 2014 yang digelar Kementerian Kesehatan yang menemukan bahwa pada anak balita di Indonesia, rata-rata konsumsi susu kental manis tergolong rendah, yaitu hanya 9,4 gram per hari dan hanya memberikan kontribusi konsumsi gula yang juga rendah yaitu hanya 5 gram per hari. Angka itu masih jauh di bawah anjuran WHO mengenai konsumsi gula tambahan yang dibolehkan, yaitu 50 gram per hari.
Menurut Ketua PERGIZI Pangan Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, edukasi gizi merupakan tanggung jawab bersama dari pemerintah, dunia akademik, dan industri. Semua pemangku kepentingan diharapkan memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak terjadi keresahan dan kebingungan dengan informasi yang beredar.
“Regulasi terkait iklan dan pembatasan konsumsi makanan bergula harusnya diawali dan disertai dengan fakta (eviden) yang kuat dan edukasi gizi yang tepat. Konsekuensi misregulasi bisa menimbulkan masalah baru termasuk masalah ekonomi dan kesehatan masyarakat,” tutur Hardinsyah.
Menyikapi polemik terkait susu kental manis, semua pakar gizi yang hadir pada acara seminar tersebut sepakat bahwa baik pemerintah dan masyarakat harus terus meningkatkan upaya peningkatan literasi gizi serta terus melaksanakan upaya menyusun kebijakan berbasis evidens.