Ketika Perang Komunikasi Sudah Ditabuh Indosat Ooredoo

Spanduk promosi Indosat Ooredoo yang “nyinyir” dengan tarif Telkomsel tengah heboh di dunia maya. Ada sejumlah bunyi pesan komunikasi sindiran Indosat Ooredoo yang langsung menohok sang kompetitior, Telkomsel.

indosat ooredoo

Contoh bunyi pesan komunikasi Indosat Ooredoo yang menyinggung tersebut antara lain, “Gratis kartu IM3 Ooredoo di sini!! Cuma IM3 Ooredoo nelpon Rp 1/detik, Telkomsel? Gak mungkin”; “Saya sudah terbebas dari tarif yang ribet”; dan “Saya sudah buktikan nelpon ke Telkomsel Rp 1/detik”.

CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli pun membenarkan hal itu. Menurutnya, foto-foto atau spanduk promosi itu bukanlah iklan. Melainkan, hanya aktivitas akuisisi di lapangan yang dikemas dalam bentuk event di booth.

Lantas, bagaimana tanggapan Telkomsel? Vice President Corporate Communications Telkomsel Adita Irawati mengomentari bahwa persaingan bisnis adalah hal yang wajar. Bahkan, bisa membuat industri lebih sehat. Namun, persaingan tersebut mestinya dapat dijaga agar tetap santun dan tidak merugikan masyarakat.

Perang pesan komunikasi di industri telekomunikasi seperti itu sebenarnya bukan yang pertama kali. Sebelumnya, di era 2G, tepatnya pada tahun 2014 silam, perang pesan komunikasi terkait tarif menelpon lebih dulu ditabuh oleh XL. Di sejumlah spanduk, termasuk billboard, XL langsung pasang tarif menelepon Rp 0,1/detik hingga Rp 0,000001/detik ke semua operator.

Dinilai Hasnul Suhaimi, Dosen MM Universitas Indonesia yang juga pakar telekomunikasi yang telah malang melintang di industri telekomunikasi, perang komunikasi memang sudah terjadi sejak dulu. Bahkan, perang komunikasi tak hanya lewat poster atau spanduk, tetapi juga terjadi di billboard. “Bedanya, kalau dulu mereka saling sindir lewat symbol. Contohnya, si merah, si biru, dan sebagainya. Nah, yang sekarang terjadi, langsung menyebut merek,” katanya.

Hasnul pun menyarankan, ada tiga hal yang harus dilakukan instasi terkait, antara lain Kementrian Komunikasi dan Informatika, dalam menyelesaikan kasus tersebut. Pertama, terkait sebab-akibat, maka pemerintah harus mencari tahu alasan mengapa Indosat Ooredoo melakukan kampanye promosi seperti itu?

Kedua, menurut Hasul, pemerintah harus menganalisis substansi pesan yang disajikan pada poster atau spanduk promosi Indosat Ooredoo. Apakah substansi pesan komunikasi yang disebutkan di poster atau spanduk itu benar atau salah?

Ketiga, terkait penyebutan merek dalam perang komunikasi, memang belum pernah terjadi di Indonesia. Namun, di luar negeri seperti di Amerika, saling sindir dengan menyebut nama merek langsung memang sudah biasa.

Contohnya, iklan Pepsi di Amerika yang secara sadis menyinggung Coca-Cola. Pada tayangan iklan Pepsi, diceritakan seorang anak kecil mendekati mesin konter penjualan minuman otomatis (vending mechine). Lalu, ia memasukkan koin ke mesin itu dan keluarlah sekaleng Coca-Cola. Apa yang anak itu lakukan kemudian? Ia menaruh Coca-Cola itu di kaki kirinya. Setelah itu, ia memasukkan koin ke mesin kembali untuk mendapatkan sebuah Coca-Cola kembali. Coca-Cola kali ini ia taruh di kaki kanannya. Tak dinyana, kalau anak kecil tersebut justru membeli dua kaleng Coca-Cola itu hanya untuk dijadikan pijakan agar ia sampai pada bilik Pepsi. Ia memasukkan koin ke bilik Pepsi dan mendapatkannya, lantas meninggalkan Coca-Cola yang diinjaknya tadi.

Oleh karena itu, menurut Hasnul, terkait penyebutan merek, semuanya berpulang pada regulasi atau aturan pemerintah Indonesia. Apakah hal itu diperbolehkan? Dan, apakah yang dilakukan Indosat Ooredoo lewat poster atau spanduk sudah dianggap sebagai iklan? “Dalam hal ini, pemerintah dapat melibatkan Dewan Periklanan Indonesia untuk menganalisisnya,” saran Hasnul.

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)