MIX.co.id - Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, terdapat lebih dari 226 kasus kekerasan fisik dan psikis, termasuk perundungan. KPAI juga mencatat selama periode 2016-2020, terdapat 665 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis.
Merujuk data Programme for International Students Assessment (PISA), pada tahun 2018, 41,1 persen siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Di tahun yang sama, Indonesia menempati posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak mencatat kasus perundungan di lingkungan sekolah.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di tahun 2018 juga menyatakan bahwa setiap 2 dari 3 anak remaja pernah mengalami kekerasan, dan setiap 3 dari 4 kasus tersebut merupakan kasus antar teman sebayanya.
Menyadari bahaya dampak bullying kepada siswa, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar Webinar KGSB bertajuk ‘Teknik Konseling Kepada Korban Bullying di Sekolah’ pada hari ini (15/4). Webinar diikuti oleh ratusan tenaga pendidik anggota KGSB dari Indonesia dan Timor Leste.
Kali ini, webinar ini menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain Sekretaris Program Studi S1 Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya Nanda Rossalia, M.Psi; Psikolog, Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Barat di Kemendikbud Ristek RI Ana Susanti, M.Pd,CEP, CHt; serta Guru BK SMPN 2 Jayapura dan Anggota KGSB Manggar Istanti., S.Pd., M.Pd.
Founder KGSB Ruth Andriani menegaskan, akhir-akhir ini maraknya pemberitaan kasus perundungan semakin memprihatinkan, terutama perundungan melalui kekerasan fisik di lingkungan sekolah. Padahal, seharusnya lingkungan sekolah dapat menjadi tempat belajar yang aman dan menyenangkan bagi semua.
Jika kita melihat dampaknya, tentunya ada dampak psikologis yang dialami korban perundungan, sehingga peran tenaga pendidik sangatlah penting dalam membantu dan mendampingi korban bullying melalui teknik konseling yang tepat.
“Melalui upaya ini, kami harap kita tidak hanya bisa ‘mengobati’, namun ke depannya kita semua dapat bersama-sama mencegah dan memutus mata rantai perundungan khususnya di lingkungan sekolah. Serta menjadikan Sekolah sebagai ruang aman dan nyaman bagi anak untuk belajar dan mengembangkan dirinya,” ujar Ruth.
Founder Rumah Guru BK, Ana Susanti menjelaskan bahwa dibutuhkan kolaborasi dari semua pihak terkait untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Sesuai data dari Comparitech di tahun 2018, 82,8% kasus bullying terjadi di sekolah, menjadikan sekolah menjadi lokasi paling banyak terdapat kasus bullying.
“Kemendikbud Ristek RI bersama dengan UNICEF Indonesia menggelar program Roots untuk mencegah bullying di lingkungan pendidikan. Program ini dikembangkan sejak tahun 2017 dan awalnya dilaksanakan di wilayah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Papua Barat. Program Roots fokus mengatasi bullying di sekolah dengan melibatkan teman sebaya. Program ini dinilai efektif karena bisa mengurangi tingkat perundungan di sekolah hingga 30% saat awal diimplementasikan pada 2017. Program Roots mulai diimplementasikan secara nasional pada tahun 2021,” papar Ana.
Sementara itu, Sekretaris Program Studi S1 Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya Nanda Rosalia menerangkan bahwa untuk memberikan konseling kepada korban maupun saksi dan pelaku bullying, dapat dilakukan dengan teknik ABC irrational belief. Teknik ini mengenali pikiran negatif atau irrational belief dari korban, saksi, atau pelaku, dan kemudian mengubahnya menjadi rational belief yang dapat mengubah cara untuk menyikapi kejadian negatif yang terjadi.
“Untuk membantu korban bullying, seorang konselor harus memberikan konseling yang tepat dan dibutuhkan oleh korban dengan mengenali pikiran negatif apa yang dimiliki oleh korban sehingga dampak buruk dari bullying dapat dihindari,” tutup Nanda.