Di era teknologi saat ini, kebencian terhadap sebuah merek bisa memicu pembentukan komunitas yang sama kuatnya dengan komunitas yang berdasarkan kekaguman. Dengan dukungan media sosial, fenomena ini menghasilkan perubahan dalam cara konsumen menunjukkan loyalitas dan rasa tidak suka mereka terhadap merek.
.
.
Cinta Benci Merek atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai "Love-Hate Brand Relationship" menggambarkan situasi di mana konsumen memiliki perasaan yang sangat polar—baik sangat positif maupun sangat negatif—terhadap sebuah merek tertentu.
Fenomena ini mencerminkan kompleksitas hubungan konsumen dengan merek, di mana konsumen mungkin mengagumi beberapa aspek dari merek tersebut sementara secara bersamaan merasa frustrasi atau kecewa dengan aspek lainnya.
Era digital telah mempermudah munculnya fenomena antipati terhadap merek atau tim tertentu, menjadikannya elemen krusial dalam dinamika media sosial. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa manusia tidak hanya cenderung berkumpul untuk mendukung suatu hal, tetapi juga untuk menyatakan ketidaksukaan bersama.
Studi oleh Hollenbeck dan Zinkhan (2006) menggali bagaimana komunitas anti-merek berkembang di situs jejaring sosial, menyoroti bagaimana ketidaksukaan kolektif terhadap suatu merek bisa membentuk komunitas yang sama kuatnya dengan komunitas yang dibangun atas dasar pengaguman.
Fenomena ini bukan hanya terbatas pada produk konsumen tetapi juga sangat nyata dalam dunia olahraga, terutama sepak bola, di mana ketegangan dan rivalitas antar tim sering kali melahirkan komunitas anti-merek.
Seperti yang dianalisis dalam penelitian tentang komunitas anti-merek yang berbasis di Facebook terhadap FC Bayern München, dinamika ini mengungkapkan sifat kompleks dari loyalitas merek oposisional dan 'schadenfreude', atau kesenangan atas kesialan orang lain, yang mendorong dinamika komunitas tersebut. Penelitian ini menunjukkan bagaimana kekecewaan dan pengasingan dari sebuah merek dapat menjadi pendorong kuat untuk komunitas ini.
Media sosial dengan cepat memperkuat fenomena ini dengan memfasilitasi interaksi yang memungkinkan pengguna untuk menyebarkan komunikasi merek negatif secara luas dan mendalam. Ironisnya, hal ini tidak hanya menciptakan gambaran merek alternatif yang menghina, tetapi juga sering kali memberikan wawasan berharga bagi manajemen merek tentang kelemahan yang mungkin tidak terungkap melalui saluran tradisional.
Tantangan yang muncul dari fenomena ini adalah bagaimana manajemen merek olahraga dan sponsor dapat menavigasi perairan yang seringkali surut ini. Sebuah merek atau tim bisa jadi dikagumi sekaligus dibenci dengan intensitas yang sama, menandai pentingnya pemantauan aktivitas anti-merek yang terus-menerus untuk memanfaatkan pelajaran yang bisa diambil dari kritik dan kebencian ini.
Namun, pada dasarnya, kecenderungan manusia untuk berkumpul dalam kebencian bersama memainkan peran kompleks dalam identitas sosial kita.
Ini menyoroti pertarungan batin antara keinginan untuk terhubung dengan orang lain melalui emosi dan nilai bersama dan kebutuhan untuk menentukan diri sendiri melawan kelompok atau gagasan yang bertentangan. Baik dalam konteks sosial maupun pasar, kebencian bersama sering kali menjadi sama pentingnya dengan dukungan bersama dalam membentuk tatanan sosial dan preferensi konsumen kita.
Dengan demikian, sementara kita mungkin "mencintai untuk membenci" merek atau tim tertentu, fenomena ini bukan hanya menyoroti sifat polarisasi dari kesetiaan merek tetapi juga berbicara tentang kekuatan emosi manusia dalam mempengaruhi dinamika pasar dan relasi sosial di era digital ini.
REFERENSI
Hollenbeck, C.R., & Zinkhan, G.M. (2010). Anti-brand communities, negotiation of brand meaning, and the learning process: the case of Wal-Mart. Consumption, Markets and Culture, 13(3), 325-345.
