MIX.co.id – Tingkat kepercayaan diri konsumen Indonesia ternyata tidak seoptimistis sebelumnya, yaitu setelah post-pandemic atau pada periode recovery.
Kenaikan harga pangan dan ancaman kemerosotan ekonomi terus menjadi faktor utama yang membebani pikiran konsumen, sehingga mereka lebih berhati-hati dan lebih strategis dalam menggunakan uangnya.
Bahkan, kekhawatiran ini telah memicu 83% konsumen secara aktif mencari penghasilan tambahan di luar pekerjaan utama mereka dan 23% mengatakan akan menambah utang mereka untuk mencukupi kebutuhan dan gaya hidup mereka.
Hal itu terungkap dalam laporan riset ‘Mid-Year Consumer Outlook: Guide to 2025’ yang dirilis NielsenIQ (NIQ), perusahaan consumer intelligence. Riset melibatkan 10 ribu responden rumah tangga yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia.
Terkait temuan tersebut, Dena Firmayuansyah, FMCG Commercial Leader, NIQ Indonesia, mengingatkan pelaku industri agar selalu memantau perilaku belanja konsumen ketika Product Domestic Bruto (PDB) tumbuh lebih tinggi dari inflasi namun tingkat keyakinan konsumen tidak lagi setinggi sebelumnya. Sebab, katanya, ini menandakan adanya ketidakpastian yang mendasari tentang masa depan.
“Pengeluaran mungkin akan terus berlanjut, namun bisa jadi ragu-ragu dalam membuat komitmen keuangan jangka panjang, juga konsumen mungkin akan mengalihkan perilaku belanja mereka ke barang-barang yang lebih penting, lebih menghemat pengeluaran mereka akan cenderung memilih produk-produk yang diskon,” ujar Dena saat memaparkan laporan riset kepada media, Kamis (17/10), di Jakarta.
Terdesak oleh kebutuhan, konsumen Indonesia akan tetap membelanjakan uangnya untuk fast moving consumer goods (FMCG) walau ada kenaikan harga. Walau begitu, kini mereka menjadi lebih eksperimental untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dan lebih baik dari produk-produk yang mereka beli. Selain itu, mereka juga lebih selektif terhadap pilihan brand.
Untuk menghemat pengeluaran belanja FMCG, konsumen menerapkan sejumlah strategi, yakni berbelanja online untuk mendapatkan penawaran yang lebih bagus (46%), mengendalikan keranjang belanja dengan memprioritaskan produk kebutuhan primer (46%), beralih ke produk yang harganya lebih murah (38%), dan membeli barang yang didiskon (36%).
Dampak perilaku belanja konsumen yang eksperimental dan selektif ini membuat posisi top 5 brand tidak aman dan terus mengalami penurunan sales value. Top brand sereal misalnya, konsisten turun sejak 2022 (85%) menjadi 84% pada 2023 dan 83% pada 2024. Top brand untuk cooking milk juga turun terus dari 93% (2022) menjadi 91% (2023) dan 89% (2024). Diikuti brand minyak goreng yang juga turun dari dari 50% pada 2022 menjadi 42% pada 2024.
Temuan lainnya, konsumen Indonesia masih percaya diri, tapi tak sebesar sebelumnya. Konsumen yang tercatat masih menabung dan merasa secure secara finansial turun dari 26% pada pertengahan 2023 menjadi hanya 13% pada pertengahan 2024. Sedangkan mereka yang sebenarnya tidak terdampak secara keuangan tapi lebih berhati-hati dalam pengeluaran, naik dari 34% pada 2023 menjadi 41% pada 2024.
Sementara Bramantiyoko Sasmito, Analytic Leader, NIQ Indonesia, menyarankan agar industri beradaptasi secara strategis terhadap perubahan dan lanskap yang makin kompetitif menuju 2025. Mulai dari menyeimbangkan antara harga yang terjangkau dan value, memberikan diferensiasi produk untuk mempertahankan loyalitas, memanfaatkan teknologi untuk menjangkau konsumen dan menawarkan pengalaman belanja yang lebih dipersonalisasi melalui berbagai platform digital, termasuk menyediakan produk premium dan kenyamanan bagi konsumen yang bersedia membayar lebih.
Laporan juga menyebutkan bahwa konsumen masih tetap optimistis dalam melihat kondisi perekonomian Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, studi ini mendapati lebih banyak konsumen Indonesia yang merasa lebih baik daripada lebih buruk (38,4%) dibandingkan dengan konsumen di negara lain dan global (-2,6%).
Hal ini dilandasi oleh outlook pertumbuhan perekonomian Indonesia yang diperkirakan stabil hingga 2025, menurut data BPS. PDB diperkirakan tumbuh dari 5,1% pada 2024 menjadi 5,2% pada 2025. Pertumbuhan ekonomi ini didominasi oleh konsumsi rumah tangga (54,5%). Inflasi juga mengalami penurunan, namun tidak pada sektor makanan, minuman, rokok, perawatan pribadi, dan jasa lainnya. ()