Kosmopolitan Vs Sub-Urban

Red_Lanterns_Pekanbaru
Pasar sub-urban selalu berada pada posisi tarik menarik antara keinginan untuk mengadopsi nilai-nilai cosmopolitan dan nilai-nilai local. Situasi ini menuntut praktisi marketing communications untuk menggunakan banyak akal.

Perilaku konsumen di daerah 2nd dan 3rd berbeda dari konsumen kota utama. Ini mengimplikasikan bahwa penyampaikan pesan kepada masyarakat di wilayah 2nd dan 3rd memunculkan berbagai tantangan bagi pemasar.

Tantangan pertama adalah besarnya sebaran wilayah geografi dari zona konsumen tersebut. Pesoalan ini memunculkan gap dalam mengkonsumsi media massa sebagai kendaraan yang selama ini masih dianggap lebih efisien dalam menyampaikan dibandingkan media lain

Tantangan kedua adalah ketidakhomogenan pasar walaupun di sisi lain kondisi ini memunculkan peluang bagi pemasar untuk mengekslpoitasinya menjadi keunggulan bersaing.

Keberagaman pasar urban, sub-urban dan sub-sub urban bahkan pedesaan ini terjadi karena faktor geografi, demografi, persepsi dan retensi individu, dan tingkat keterlibatan dalam perilaku pembelian.

Bagi pemasar, heterogenitas dan sebaran tersebut berimplikasi pada keputusan pemilihan media dan pesan. Sebab, besarnya sebaran pasar sub-urban dan sub-sub-urban atau 2nd dan 3rd city tersebut bias membatasi pencapaian eksposure pesan yang disampaikan melalui media massa.

Di sisi lainnya, variasi dalam bahasa dan budaya mengimplikasikan kebutuhan akan pesan-pesan yang spesifik dan tidak seragam.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, masyarakat Indonesia pada daerah 2nd and 3rd dan atau sub-urban secara umum merupakan masyarakat yang memiliki nilai kekeluargaan tinggi, mudah tersentuh, terutama berkaitan dengan nilai sosial dan kultur daerahnya itu sendiri.

“Inilah yang menonjol yang terjadi pada daerah sub urban di Indonesia,” kata Aviaska Diah Respati, Marketing Director OTC PT. Tempo Scan Pacific, Tbk.

Kedua, konsumen kota besar lebih individualis. Mereka lebih selektif, lebih mementingkan fungsi serta lebih tidak sensitif terhadap harga. Perbedaan gaya hidup mereka juga menyebabkan adanya perbedaan – perbedaan terhadap bentuk komunikasi dan jalur media yang ditempuh terutama pada aktifasi merek, walaupun isi pesan akan selalu sama, ermasuk dalam mengatur ketersediaan produk.

Untuk produk obat-obatan bebas misalnya, di perkotaan mereka cenderung membeli di toko obat / apotik atau modern market dalam satuan folding box @20tab. Sedang di pedesaan mereka cenderung membeli di warung terdekat dengan satuan tablet.

Ini mengimplikasikan ketersediaan obat di warung di kota kecil hingga daerah pelosok sangat wajib. ”Harus ada, agar mereka bisa dengan mudah mendaparkannya,” kata Aviaska.

Ketiga, banyak daerah yang ternyata masih belum terjangkau siaran televisi. Di Kalimantan Tengah misalnya, sebanyak 866 unit desa atau sekitar 64% dari total jumlah desa yang mencapai 1.356 unit desa, hingga saat ini masih belum tersentuh siaran televisi.

Internet juga sama. Sampai saat ini baru 32 ribu desa di Indonesia yang sudah memiliki jaringan internet, sedangkan 40 ribu desa lainnya belum tersambung.

Ini menunjukkan adanya gap antara publik kota dan bagian dari kota dalam mengkonsumsi media. Wilayah kota mudah dijangkau dijangkau pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh praktisi marketing communications melalui media massa. Di sisi lain, wilayah sub urban sulit dijangkau arena keterbatasan akses mereka terhadap media massa yang tersedia.

Sementara itu, masyarakat sub urban yang terjangkau pesan-pesan media massa menghadapi dilematis antara keinginan untuk mengadopsi sikap-sikap kosmopolitan seperti yang biasa digambarkan melalui media massa, dengan nilai-nilai lokal. Pasar sub urban adalah zona bertautnya nilai nilai kosmopolit dan kekentalan lokalitas.

Dengan kata lain, konsumen sub-urban selalu berada dalam tarikan-tarikan yang intens dalam dua nilai itu. ”Di wilayah media massa mereka mengadaptasi sikap sikap kosmopolit yang disebarkan secara sentralistis, sementara di kehidupan sehari hari mereka adalah konsumen dengan lokalitas bawah sadar yang kuat,” kata Janoe Arijanto, President Director Dentsu Strat.

Menurut Janoe, masyarakat sub-urban dalam segmen ini terekspose semua ide kosmopolit, namun hidup dalam realitas yang berbeda dengan media media, televisi misalnya. Mereka menikmati istilah istilah urban di sinetron, namun berbahasa daerah di keseharian. Melihat iklan iklan dengan setting urban, namun hidup dalam kesederhanaan rural.

Situasi ini menuntut praktisi marketing communications untuk menggunakan banyak akal. Sebab di sub urban, kota kedua atau kota ketiga, pemasar tidak hanya berbicara tentang paket besar pesan yang digelontorkan dari Jakarta, tapi berbicara lebih detil dengan lokalitas : dengan peta pasar lokal, pesaing lokal, cara membeli lokal, cara mengonsumsi lokal.

Dari sebuah penelitian tentang value contact point 2010, kata Janoe, bisa disimpulkan bahwa masing masing lokalitas, memiliki skenario yang berbeda ketika harus mengeksekusi sebuah pembelian. ”Satu daerah bisa sangat kental dengan word of mouth tapi tidak di daerah lain. Atau satu kota lebih menyukai eksplorasi di internet sementara di kota lain lebih mempercayai sumber-sumber informasi tradisional,” katanya.

Dari sudut pandang komunikasi, masyarakat sub urban dan rural, memiliki skenario yang lebih sederhana dalam perilaku membeli, dibandingkan dengan masyarakat urban.

Masyarakat urban memiliki lebih banyak influencer dibandingkan dengan sub urban. Influencer di masyarakat urban, bisa datang dari online atau offline, sementara di masyarakat sub urban dan rural, influencer masih dominan berperan secara off line.

”Tapi keadaan ini pelahan berubah, pertumbuhan penetrasi internet yang agresif di sub urban akan secara cepat mengubah cara perilaku konsumen di sub urban,” kata Janoe.

Konsekuensi dari kondisi adalah, pertama, pemasar harus menganggap bahwa channel distribusi sebagai bagian dari komunikasi. Disini pentingnya penataan titik-titik akhir distritusi seperti toko sehingga mampu mengkomunikasikan dan membujuk konsumen untuk membeli suatu merek.

Kedua, pemasar harus menyadari bahwa tiap tiap channel distribusi memiliki keunikan sendiri sendiri. Karena itu, perhatian yang khusus pada keunikan tiap-tiap channel secara otomatis bisa menjadi solusi untuk menghadapi keunikan tiap zona sub urban.

Di zona sub-urban, peran media tradisional seperti radio, masih memiliki pengaruh yang kuat. Karena fungsi radio, di perkembangan terakhirnya, justru mampu menawarkan proses yang interaktif. Ini terjadi, kata Janoe, ketika fungsi radio dihubungkan secara kuat dengan peran komunikasi mobile.

Media radio cukup efektif digunakan karena mempunyai karakteristik tersendiri sehingga mempunyai komunitas yang khusus.

”Untuk daerah – daerah tertentu terutama daerah yang masih belum terjangkau oleh TV efektivitasnya akan lebih baik, biayanyapun cukup rendah bergantung pada efektivitas kita memilih program dan jam dimana pesan akan disampaikan,” kata Aviaska.

Peringkat Top 10 Brands di Urban Indonesia berdasarkan Brand Footprint 2014 Peringkat Top 10 Brands di Urban Indonesia berdasarkan Brand Footprint 2014

Beberapa waktu lalu, Kantar WorldPanel Indonesia merilis hasil riset terbarunya seputar tren pasar Fast Moving Consumer Goods (FMCG) di Indonesia. Riset tersebut mengambil sample 5.680 rumah tangga di Indonesia yang mewakili 86% dari seluruh rumah tangga di area urban Indonesia.

Menurut Fanny Murhayati, New Business Development Director Kantar World Panel, riset yang dinamakan Brand Footprint tersebut menggunakan metriks Consumer Reach Point (CRP) untuk mengukur seberapa banyak rumah tangga di Indonesia—termasuk global—dalam membeli sebuah merek dan seberapa sering konsumen membeli sebuah produk.

Hasilnya, pada 2012 hingga 2013, telah terjadi peningkatan penjualan produk-produk FMCG sebesar 14%--baik di kawasan urban (perkotaan) maupun rural (pedesaan). Menariknya, hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah konsumen “tersibuk” jika dibandingkan dengan konsumen di negara lain.

Terbukti, dalam kurun waktu setahun, konsumen Indonesia berbelanja lebih dari 400 kali atau sekitar 31 kali dalam sebulan. Itu artinya, konsumen Indonesia hampir setiap hari berbelanja!

Sementara itu, berdasarkan Brand Footprint 2014, Kantar juga merilis “Peringkat Top 10 Brand di Urban Indonesia”. Kesepuluh brand tersebut berasal dari kategori produk mie instant, susu, kopi, bumbu penyedap, deterjen, dan biskuit (lihat tabel).

Fanny memaparkan, “Dua merek teratas adalah Indomie dan Mie Sedaap. Kedua brand tersebut memiliki jumlah pembeli yang sangat besar dan dibeli sangat sering oleh konsumen Indonesia.

“Tingginya tingkat pembelian karena mie instant menawarkan kemudahan mengkonsumsi. Faktor lainnya adalah jangkauan distribusi kedua merek itu yang sangat luas serta promosi dan inovasi yang dilakukan sangat beragam,” urai Fanny.

Sementara itu, posisi Frisian Flag di peringkat ketiga tak lepas dari faktor merek tersebut yang bermain di banyak kategori. Mulai dari susu bayi formula, susu kental manis, susu cair, dan susu bubuk keluarga. Hal yang sama terjadi juga pada merek So Klin, yang memiliki banyak kategori produk, seperti deterjen, pembersih lantai, hingga pewangi.

Dengan demikian, Frisian Flag maupun So Klin mampu menarik banyak konsumen dan berakibat pada tingginya skor CRP—karena tracking dilakukan berdasarkan brand yang dibeli, tidak peduli dengan kategori produknya.

Kategori lain yang harus diberi perhatian khusus, menurut Fanny, adalah kopi. Riset ini menemukan bahwa ada dua merek kopi yang masuk dalam Top 10 Brand Footprint tahun ini, yakni Kapal Api dan ABC Santos.

Merek kopi lainnya tercatat sebagai brand yang tengah bersinar (Top Rises), yaitu Top Coffee di peringkat ke-38 dan Luwak White Coffee yang menempati peringkat 20.

“Tak mengherankan jika Indonesia merupakan negara dengan konsumsi kopi terbesar kedua setelah Jerman. Banyaknya format sachet di kategori tersebut mengakibatkan tingginya frekuensi pembelanjaan kopi di Urban Indonesia,” kata Fanny.

Hal baru yang dijumpai dari riset kali ini adalah munculnya merek Roma. Produk aneka biskuit tersebut berhasil masuk ke posisi 9 dan menjadi satu-satunya brand biskuit yang mampu masuk ke dalam Top 10 Brand Footprint. Fanny menilai Roma memiliki komunikasi yang sangat baik tentang produknya ke masyarakat.

“Mereka berhasil mengedukasi konsumen dengan iklan-iklannya, seperti mengkonsumsi biskuit Roma pada saat minum teh bersama keluarga, sehingga konsumen menyadari bahwa biskuit tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga bisa dinikmati bersama keluarga,” lanjutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)