Langkah Pemerintah Perluas Penetrasi Fixed Broadband di Indonesia

MIX.co.id - Penetrasi fixed broadband di Indonesia masih tergolong rendah, dengan angka 21,31% dari total rumah tangga. Kecepatan unduh rata-rata juga hanya mencapai 32,07 Mbps, tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Oleh karena itu, pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz melalui Broadband Wireless Access (BWA) dianggap sebagai solusi untuk memperluas cakupan internet dengan biaya lebih rendah.

Oleh karena itu, guna memperluas akses internet tetap (fixed broadband) yang lebih terjangkau bagi masyarakat--terutama untuk sektor rumah tangga, pendidikan, dan kesehatan--pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah bersiap menggelar lelang frekuensi 1,4 GHz. Lelang frekuensi tersebut tentu saja menghadirkan peluang sekaligus tantangan.

Berangkat dari fakta itu, IndoTelko menggelar diskusi Morning Tech bertajuk "Lelang Frekuensi, Untuk Siapa?” pada hari ini (24/2), di Jakarta.

Dituturkan Koordinator Kebijakan Penyelenggaraan Infrastruktur Digital Komdigi Benny Elian, spektrum ini akan digunakan untuk menghadirkan layanan internet berkualitas dengan harga terjangkau. “Kami ingin menghadirkan internet yang lebih murah bagi masyarakat, dengan tarif berkisar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per bulan untuk kecepatan hingga 100 Mbps,” ucapnya.

Komdigi menargetkan lelang 1,4 GHz selesai pada semester pertama 2025, sebelum lelang spektrum 700 MHz dilaksanakan. Hingga saat ini, terdapat tujuh perusahaan yang menunjukkan minat terhadap frekuensi tersebut. Namun, Benny menyebutkan bahwa jumlah peserta dapat bertambah saat proses lelang resmi dibuka.

Pada kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mitra Bangsa Kamilov Sagala menegaskan bahwa transparansi dalam proses lelang harus dijaga untuk mencegah praktik monopoli. “Frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan adil. Jika tidak, hanya segelintir perusahaan yang akan mendapatkan manfaat,” ia menegaskan.

Kamilov juga mengingatkan bahwa dengan tujuh pihak yang sudah berminat, persaingan bisa menjadi ketat dan harga spektrum bisa melonjak tinggi jika mekanisme lelang hanya berbasis harga.

Sementara itu, dikatakan Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot, pentingnya pembangunan infrastruktur digital yang berkualitas serta pengembangan talenta digital, terutama di kalangan generasi muda. “Saat ini, Indonesia tertinggal dalam pengembangan 5G, dengan kecepatan rata-rata baru mencapai 30 Mbps, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di ASEAN,” ucapnya.

Ia menekankan bahwa regulasi yang adaptif dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk memastikan transformasi digital berjalan berkelanjutan dan kompetitif.

Dalam dunia telekomunikasi, berbagai model kompetisi dapat diterapkan dalam pengelolaan frekuensi ini. Sigit menjelaskan bahwa terdapat beberapa opsi, mulai dari Infrastructure-Based Competition,
Wholesale Access Model, hingga Public-Private Partnership.

“Setiap model memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Untuk Indonesia, pendekatan hibrida yang melibatkan pemerintah daerah bisa menjadi solusi yang tepat,” ia menandaskan.

Selain itu, tarif layanan setelah lelang juga harus menjadi perhatian. Ia menyoroti bahwa harga untuk layanan seluler dan FWA (Fixed Wireless Access) sebaiknya dibedakan.

“Kompetisi harga seluler bersifat nasional, sedangkan harga FWA bisa lebih variatif, bahkan hingga tingkat lokasi rumah. Oleh karena itu, sebaiknya ada perbedaan harga FWA antara wilayah perkotaan dan pedesaan agar lebih adil,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)