Merujuk data Unesco, ada 1,6 miliar pelajar di seluruh dunia (mulai dari TK hingga perguruan tinggi) yang out of school di tahun 2020. Lalu, ada sekitar 63 juta dosen dan guru di seluruh dunia yang tidak pergi mengajar. Dan, ada 188 negara yang menerapkan sistem lock down, karantina, atau pembatasan wilayah, seperti yang dialami oleh Indonesia.
Fakta itu tentu saja membuat krisis Covid-19 bukanlah masalah sederhana. Bahkan, untuk kembali normal dibutuhkan waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, rencana pemerintah Indonesia yang akan melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) pada Juni ini, tentu saja harus dipersiapkan secara matang oleh para pengelola perguruan tinggi.
London School Public Relations (LSPR) Communication & Business Institute misalnya, juga sudah mempersiapkan sejumlah protokol belajar-mengajar untuk menghadapi masa pelonggaran PSBB sekaligus era New Normal.
Dijelaskan Founder & CEO LSPR Communication & Business Institute Prita Kemal Gani MBA, MCIPR, APR, dalam wawancara online dengan MIX pada hari ini (2/6), sebenarnya LSPR sudah persiapkan protokol belajar-mengajar sejak sebelum PSBB diberlakukan pada 20 Maret 2020.
“Kami sudah menyiapkan dan melakukan pelatihan terkait hal ini. Sebab, LSPR memiliki 5.000 mahasiswa, 325 staf, dan 260 orang pengajar. Dan, tidak mudah untuk membuat semua orang tiba-tiba berubah. Oleh karena itu, kami sudah jauh-jauh hari mempersiapkan hal ini sejak awal Maret 2020,” terang Prita.
Diakuinya, krisis Covid-19 saat ini tidak sederhana dan dialami oleh seluruh negara di dunia. Untuk itu, butuh waktu untuk recovery. “Pada saat WFH (Work From Home), sebenarnya kami punya waktu untuk berpikir dan menjadi kreatif tentang apa yang harus kami lakukan,” ucapnya.
Ada lima persiapan yang telah dilakukan LSPR pada jelang PSBB hingga New Normal nanti. Persiapan pertama adalah Online Learning atau e-Learning. “Memang online learning menjadi percepatan teknologi. Namun, jika orang berpikir bahwa online learning hanya mendigitalisasi apa yang ada di class room, maka sesungguhnya online learning tdak sesederhana itu,” katanya.
Sebab, online learning itu harus tetap membuat student atau mahasiswa tertarik dengan konten belajar yang disajikan. Sebagai dosen atau pengajar, sulit membuat pelajar tetap tertarik selama satu setengah jam belajar lewat gadget. Ini justru tantangannya.
“Oleh karena itu, dosen atau kampus harus mampu membuat konten yang sekreatif mungkin dengan WOW Effect plus engagement atau connect. Untuk bisa seperti itu, kami melatih para dosen untuk mengemas materi secara fun dalam format games. Misalnya, materi dikemas layaknya program kuis ‘I Want to Be Millioner’, Treasure Hunt, Wheel of Fortune, dan sebagainya,” urai Prita.
Persiapan kedua adalah membuatkan rule atau aturan untuk para mahasiswa dan dosen. Artinya, ketika kelas online berlangsung, mereka harus rapi layaknya sedang kuliah offline di kampus. “Pada saat kelas online berlangsung, tidak ada yang boleh hanya pakai baju tidur, rambut rapi, background dalam format resmi atau tidak boleh di tempat tidur, dan sebagainya. Dengan demikian, e-learning environment yang menyenangkan dapat mereka rasakan,” imbuhnya.
Diakui Prita, beruntungnya LSPR sudah memiliki pengalaman dengan e-learning. Lantaran, LSPR sudah memiliki program PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) sejak lima tahun lalu. “Jadi, kami sudah punya learning management system, e-learning strategy, memiliki ratusan modul yang sudah dibuat dalam bentuk online, dan sebagainya. Dengan demikian, bagi LSPR, e-learning memang bukan hal yang baru. Hanya tinggal kami modifikasi saja,” ungkapnya.
Selain belajar, mahasiswa tentu saja memerlukan bimbingan akademik, bimbingan tesis, hingga konseling masalah studi dan karir mereka. Untuk menjawab kebutuhan itu, LSPR memilki persiapan ketiga, yakni menghadirkan “Student Hotline Services”. Ada 10 orang yang terbagi ke dalam beberapa shif, yang siap menangani Hotline Services ini.
Lantas, bagaimana dengan persiapan untuk menghadapi PSBB yang akan diperlonggar? Dijawab Prita, LSPR memiliki persiapan keempat, yakni dengan mempersiapkan ruang kelas yang dapat diikuti mahasiswa dengan jumlah separuhnya. Artinya, jika dalam kondisi normal per kelas jumlah maksimal mencapai 36 mahasiswa, maka pada masa saat ini, LSPR hanya izinkan separuhnya saja yang mengikuti kelas atau hanya18 mahasiswa. Sisanya, mengikuti kelas dari rumah.
“Namun, mahasiswa akan digilir untuk mengikuti kelas offline. Misalnya, jika minggu ini sudah kebagian kelas offline, maka minggu depan, mahasiswa akan kebagian kelas online. Namun, mahasiswa yang mengikuti kelas dari rumah, mereka bisa mengikuti kelas online dan melihat secara langsung bagaimana suasana kelas. Jadi, kami menggunakan alat atau teknologi dimana mahasiswa di rumah dapat melihat dan mendengar langsung semua kegiatan di dalam ruangan kelas kampus. Dengan demikian, class experience bisa mereka dapatkan meski mengikuti dari rumah,” jelas Prita.
Waktu di dalam kelas pun tidak bisa selama seperti dalam kondisi normal. Artinya, jika dulu dalam sehari ada tiga shif, maka sekarang LSPR membuatnya dalam 6 shif. Setiap shifnya memang memiliki waktu yang pendek.
Persiapan kelima adalah adalah protokol kesehatan dan social distancing yang akan diberlakukan selama kelas offiline berlangsung. Pada saat mahasiswa, pengajar, dan staf akan memasuki kampus, dituturkan Prita, mereka harus melalui chamber terlebih dahulu. “Chamber yang kami gunakan bukan densifektan, tapi air sabun. Bahkan, sebelum masuk chamber, kami juga sudah mengatur jarak fisik dan mereka harus menggunakan handsanitizer yang sudah kami sediakan,” sambung Prita.
Selanjutnya, begitu keluar dari chamber, mereka harus cuci tangan kembali dengan sabun dan air yang sudah disediakan. Tahap berikutnya, mereka harus melakukan check suhu tubuh dengan perangkat otomatis. “Mereka juga harus memakai masker yang akan dibagikan, dimana kami sudah menjahit ribuan masker berlogo LSPR. Untuk dosen dan staf, mereka akan menggunakan Face Shield,” tandas Prita, yang menyebutkan bahwa jika mahasiswa tidak memakai masker di kampus akan dikenakan denda.
Termasuk di dalam lift, LSPR juga menerapkan protokol jaga jarak. Jumlah orang yang bisa masuk lift harus setengahnya dengan posisi yang sudah diatur. Begitu juga saat di kantin, jaga jarak ikut diatur dengan mengurangi jumlah kursi. “Bahkan, kami juga sudah tidak menggunakan piring dan menggantinya dengan wadah yang sekali pakai,” ia menegaskan.
Lebih jauh Prita menegaskan bahwa rule dan protokol tesebut sudah jauh-jauh hari disosialisasikan kepada mahasiswa, dosen, dan staf. Kampanye dan sosialisasi telah dilakukan melalui media sosial seperti Youtube dan Instagram, hingga website resmi kampus. “Bahkan, kami juga punya Tim Gugus Covid-19, yang kami sudah persiapkan betul untuk menangani mereka yang terdeteksi terinfeski Covid-19,” tutup Prita.