Pemulihan ekonomi menjadi salah satu target pemerintah Indonesia di era kenormalan baru. Mengingat, pandemi Covid-19 yang terjadi di tahun lalu hingga sekarang, telah berdampak siginfikan terhadap kondisi ekonomi di Tanah Air. Oleh karena itu, sejumlah strategi dihadirkan untuk kembali memulihkan ekonomi. Antara lain, melalui Perjanjian Perdagangan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
RCEP merupakan perjanjian kerja sama dagang terbesar di dunia yang ditandatangani oleh 10 negara anggota ASEAN, bersama Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Kawasan ini mencakup 2,1 miliar orang (30 persen populasi dunia) dan menyumbang sekitar 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global. Objektif kesepakatan ini adalah untuk menurunkan tarif, membuka perdagangan barang dan jasa, serta mempromosikan investasi.
Pada webinar “Stimulus Covid-19 dan RCEP: Pemacu Pemulihan Ekonomi Indonesia dan Dunia 2021-2022” yang disgelar Universitas Prasetiya Mulya, Ikaprama, dan Katadata, pada hari ini (20/1), Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri mengungkapkan, keuntungan yang harus dimanfaatkan Indonesia dengan disahkannya RCEP adalah lebih terintegrasi dalam ekonomi global dan regional, termasuk pada mata rantai pasok dunia atau global value chain.
“Export is good, import is bad tidak lagi menjadi hal yang tepat, karena ekspor yang berdaya saing membutuhkan impor yang berkualitas. Ini juga akan berkontribusi dalam pemulihan ekonomi pasca krisis dan pandemi. Harus ada nilai tambah dari global value chain,” ucapnya.
Lebih jauh ia menerangkan, terintegrasi dalam mata rantai pasok dunia artinya lebih banyak menggunakan impor untuk pengembangan sektor industri. “Backward Value Added (BVA) Indonesia masih rendah dibandingkan Forward Value Added (FVA). BVA adalah persentase ekspor yang merupakan input dari impor dan FVA adalah persentase ekspor yang menjadi input negara lain,” tandasnya.
Menurutnya, Indonesia tidak dapat memanfaatkan input yang lebih efisien dari luar negeri, sementara ekspor didominasi oleh sumber daya alam sebagai input negara lain. “Ini terjadi karena yang diekspor sebagian besar adalah raw commodity,” katanya.
Ditambahkan Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perindustrian Antonius Yudi Triantoro, main feature RCEP adalah mendorong perluasan dan pendalaman mata rantai pasok di kawasan. “Manfaat RCEP bagi Indonesia adalah mendorong tumbuhnya industri, yang menjadi bagian dari mata rantai pasok dunia. Indonesia menjadi bagian dari jaringan produksi regional (regional value chain), dimana ada kemudahan mendapatkan bahan baku dan ketentuan asal barang (rules of origin) yang fasilitatif. Indonesia juga dapat memanfaatkan program Kerja sama Ekonomi dan Teknis,” paparnya.
Diakui Antonius, saat ini, pekerjaan rumah terbesar Indonesia adalah meningkatkan daya saing, terutama dari biaya produksi seperti biaya energi, upah, logistik dan transportasi, hingga kualitas produk. Selain itu, penerapan RCEP juga harus didukung infrastruktur, baik soft infrastruktur serta hard infrastruktur.
Managing Director Bank Dunia Mari Pangestu, salah seorang inisiator RCEP pada KTT Asean di Bali pada 2011 silam, menegaskan, kerja sama dagang ini akan menguntungkan ASEAN, karena kelahirannya justru dimaksudkan untuk mengimbangi kekuatan ekonomi Asia Timur (Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan).
“Secara khusus, RCEP diharapkan dapat memangkas biaya dan waktu bagi perusahaan dalam mengekspor produk mereka ke negara-negara dalam lingkup perjanjian ini. Sebab, eksportir hanya perlu menggunakan satu macam Surat Keterangan Asal (SKA) untuk bisa mengekspor ke seluruh negara anggota RCEP. Selain itu, diharapkan terdapat spill-over effect, yang memperluas jangkauan Indonesia ke negara-negara di luar anggota RCEP dan rantai pasok global,” pungkasnya.