MIX.co.id – Pemerintah perlu berhati-hati dalam pengenaan cukai plastik karena penarikan cukai plastik akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, penarikan cukai plastik menjadi beban bagi kalangan industri.
Hal itu menjadi benang merah acara diskusi publik bertajuk “Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal?” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online (FJO) di Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk Jakarta, baru-baru ini (21/11).
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita menegaskan penarikan cukai plastik hanya akan berdampak negatif kepada pertumbuhan ataupun utilisasi industri dalam negeri, termasuk industri kecil dan menengah.
Menurutnya, penarikan cukai plastik nantinya justru akan mengganggu sisi permintaannya yang pasti akan berkurang. Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor yang cenderung lebih murah.
“Ini juga yang harus kita sikapi. Karena demand tetap ada tetapi konsumen pasti cenderung memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya,” ujar Reni yang menjadi pembicara.
Jika terhadap kemasan-kemasan plastik itu dikenakan cukai, menurut dia, pasti ada koreksi di harga yang akan ditanggung oleh konsumen. Kemudian, jika ada koreksi harga, pasti permintaan akan terkoreksi juga. “Takutnya dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh bisa terhambat,” tukas Reni.
Diungkapkan, kemasan plastik itu bukan limbah karena bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk di sini untuk industri berbasis sandang, karpet, kemudian ada juga industri alas kaki.
“Dengan pengenaan cukai ini, industri daur ulang plastik kita akan kekurangan bahan baku karena memang di industri dalam negerinya juga terkoreksi,” tegas Reni lagi.
Narasumber lainnya, Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rachmat Hidayat juga menyampaikan pengendalian sampah plastik itu seharusnya dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan cost dan benefit.
Menurutnya, penarikan cukai plastik ini akan memicu terjadinya kenaikan harga yang otomatis akan menyebabkan permintaan turun. Permintaan turun maka pendapatan dan sebagainya juga turun.
“Cukai itu salah satu pilihan pilihan, tapi untuk saat ini adalah bukan pilihan pertama. Ada pilihan lain yang lebih baik kita ambil yang ongkosnya tidak sebesar itu, misalnya pengelolaan sampah yang lebih baik,” katanya.
Menurut Rachmat, dari riset Indef 2015 dijelaskan bahwa setiap 1,76% penurunan industri makanan-minuman akan berkontribusi terhadap hilangnya pendapatan secara nasional sebesar Rp 6,79 triliun dan ini berkorelasi dengan hilangnya lapangan pekerjaan sebanyak 280 ribu orang.
Hal itu berdampak pada pendapatan pemerintah berupa pajak pasti turun, baik pajak penghasilan maupun pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai. “Karenanya, Apindo memandang cukai plastik bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini,” ujar Rachmat.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Indef, timpal Ahmad Heri Firdaus, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), penarikan cukai plastik ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi misalnya dari yang harusnya tumbuh 6 persen, tetapi karena ada kebijakan ini tidak jadi 6 persen tapi hanya 5,9 persen. “Artinya, ada potensi pertumbuhan yang terbuang,” katanya.
Turut hadir dalam diskusi tersebut Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian LHK Novrizal Tahar, General Manager Indonesia Packaging Recovery Organisation (IPRO) Zul Martini Indrawati, Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman, serta Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Justin Wiganda. ()