MIX.co.id - Program Ruang Bincang ketujuh yang digelar Knowledge Sector Initiative (KSI) menghadirkan tema “Peningkatan Kualitas, Inklusivitas, dan Resiliensi Layanan Kesehatan Indonesia”. Ruang Bincang ketujuh merupakan rangkaian Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P).
Program kali ini juga menyoroti tentang pentingnya kolaborasi multi-pihak dalam mewujudkan transformasi sistem kesehatan, baik optimalisasi layanan primer, mutu layanan rujukan, dan sistem pembiayaan kesehatan, terutama dalam hal asuransi kesehatan tambahan dan perbaikan kualitas data penerima bantuan iuran (PBI) JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Di samping itu, kolaborasi juga perlu didorong untuk mendukung transformasi dalam bidang informasi dan teknologi (IT) untuk kemudahan akses layanan kesehatan.
Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi menerangkan, saat ini, Kemenkes tengah menyiapkan roadmap atau enam strategi transformasi kesehatan.
Pertama terkait layanan primer, di mana pelayanan bersifat promotif dan preventif. Kedua, transformasi layanan sekunder, yaitu rujukan rumah sakit. Ketiga, terkait aturan dalam pembiayaan kesehatan, mengingat tren dari segi usia semakin berubah dengan meningkatnya usia muda dibandingakn usia lansia. Lalu, terkait transformasi sumber daya manusia (SDM), dimana fokusnya peningkatan kualitas dan pemerataan jumlah tenaga kesehatan (nakes) di daerah. Terakhir Adalah transformasi teknologi kesehatan yang dibagi menjadi dua, yaitu transformasi informasi kesehatan dan transformasi teknologi kesehatan.
Sebelumnya, Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas Gadjah Mada (PKMK UGM), M. Faozi Kurniawan, memaparkan kualitas penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional bagi kelompok masyarakat miskin dan marginal serta bagaimana mendorong perubahan struktural untuk meningkatkan jangkauan layanan yang lebih inklusif dan merata.
“Diperlukan penelitian, kajian, diskusi publik, hingga publikasi jaminan Kesehatan nasional (JKN) dan Sistem Kesehatan yang secara berkala serta dalam ruang lingkup nasional-provinsi-kabupaten/kota. Hal ini perlu dilakukan untuk melakukan kualitas kontrol dan mengukur dampak JKN dan Sistem Kesehatan,” lanjut Faozi.
Peneliti Article 33 Indonesia, Yusuf Faisal Martak, menjelaskan bagaimana pandemi berdampak terhadap mobilitas dan aksesibilitas bagi layanan kesehatan penyandang disabilitas sebagai layanan rujukan. “Keberadaan tenaga kesehatan yang tidak merata, belum ada standard operating procedure (SOP) pelayanan kesehatan disabilitas pada masa pandemi, dan tidak tersedianya data valid terkait jumlah penyandang disabilitas adalah permasalahan akses dan kualitas pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas di masa pandemi ini,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SurveyMETER Ni Wayan Suriastini menguraikan status layanan kesehatan lansia pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas), terutama di daerah dengan tingkat demografi lansia yang tinggi dan penyebab kurang diprioritaskannya layanan kesehatan lansia.
Jenis pelayanan skrining seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 belum semua diberikan oleh Puskesmas. Misalnya, Instrumental Activities of Daily Living (IADL) baru dilakukan 28%. “Hal ini menyoroti permasalahan di level Puskesmas, dimana program lansia masih termasuk program pengembangan, bukan program esensial. Jadi, dalam pelaksanaannya menjadi tidak maksimal,” kata Ni Wayan.
Maudita Dwi Anbarani, Peneliti dari SMERU Research Institute, menegaskan tentang pentingnya kolaborasi banyak pihak dari berbagai lapisan untuk mewujudkan keberlangsungan pelayanan gizi dan KIA. “Dalam pelayanan kesehatan KIA di masa pandemi, peningkatan akses internet dengan informasi yang memadai dan sarana prasarana kesehatan menjadi modal penting untuk mempertahankan pelayanan yang berkualitas,” ucapnya.