MIX.co.id - Guna mendorong investasi EBT (Energi Baru Terbarukan), pemerintah Indonesia telah menyediakan subsidi dan insentif. Meski demikian, dua hal tersebut masih dinilai belum cukup, karena transisi ke arah energi baru tercatat kompleks.
"Kondisi yang kita hadapi saat ini adalah urgensi jangka pendek yang dimanifestasikan dengan krisis energi dengan kompleksitas transisi ke masa panjang," tandas Penasihat Senior Ekonomi Kementerian Investasi/BKPM Indra Darmawan, dalam talkshow bertajuk ‘Accalerating Investment for Transition’, yang digelar hari ini (21/10) secara virtual.
Lebih jauh ia menegaskan, transisi ke masa panjang untuk menggantikan sumber energi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kebijakan subsidi dan insentif ternyata tidak cukup untuk mendorong investasi EBT atau investasi hijau.
"Yang harus dilakukan adalah langsung action. Kita lakukan beberapa yang kira-kira bisa menguntungkan secara ekonomi, diterima secara sosial di suatu lokasi, dan sekaligus rendah karbon. Saya pikir itu adalah inti dari sustainable development. Kita kembali ke basic-nya. Lalu kita lakukan lagi menjadi sebuah kerja yang nyata," sarannya.
Ia menambahkan, krisis energi yang terjadi saat ini akan mengubah cara pandang dan meyakinkan bahwa energi hijau harus berlimpah. Tantangannya kemudian adalah meningkatkan investasi di bidang EBT. “Data Kementerian Investasi dan BKPM terkait investasi menunjukkan bahwa setiap tahun terdapat realisasi sekitar Rp 800 triliun. Jumlah itu berasal dari asing dan lokal,” ujarnya.
Dua bulan, pemerintah lalu sudah groundbreaking sebuah proyek investasi besar untuk memproduksi mobil listrik. Sebelumnya, pemerintah juga telah menelurkan proyek investasi di Citata, yaitu PLTA. Terdapat pula pembangkit listrik tenaga bayu di Sulawesi dengan kapasitas 75 Megawatt. “Meski demikian, untuk mencapai target energi terbarukan 23 persen di tahun 2025, masih diperlukan tambahan 9.000 Megawatt,” ia menegaskan.
Ditambahkan Direktur Financial Policy Group Otoritas Jasa Keuangan Greatman Rajab, kebutuhan pendanaan pembangunan rendah karbon dan net zero emission sangat besar. "Ibu Menkeu dua hari yang lalu mengatakan bahwa angka US$ 479 miliar yang dibutuhkan untuk menurunkan 41 persen emisi karbon hingga 2030, angka yang luar biasa. Ini memberi peluang bagi industri jasa keuangan untuk bisa ikut terlibat dalam pendanaan berkelanjutan," katanya.
Menurut Greatman, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) berupaya mendorong pendanaan berkelanjutan dengan mengeluarkan beberapa regulasi keuangan berkelanjutan. Di antaranya POJK Nomor 51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, baik sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank.
Selain POJK nomor 51 tahun 2017, OJK juga mengeluarkan POJK nomor 60 tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang yang Berwawasan Lingkungan. OJK menyebut POJK tersebut tentang Green Bon. Sejak diterbitkannnya POJK ini, Green Bon yang sudah dikeluarkan mencapai US$ 2,26 miliar atau sebesar Rp 32,1 triliun.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)/Indonesian Environment Fund (IEF) Djoko Hendratto memaparkan mengenai tugas dan mandat yang diemban BPDLH adalah mengenai lingkungan hidup, khususnya mengawal dari perspektif keuangan.