Generasi Millennials sangatlah dominan di negara-negara ASEAN, di mana sebagian besar populasinya adalah anak muda yang lahir antara 1980an dan 1990an. Merujuk kepada pergeseran sosio-ekonomi yang dramatis di negara-negara ASEAN baru-baru ini, sulit untuk mendefinisikan sebuah rentang usia yang sangat lebar tersebut ke dalam satu entitas tertentu. Untuk itu, belum lama ini Hakuhodo Institute of Life and Living (HILL) ASEAN merilis hasil temuannya bertajuk
“ASEAN Millenials: One SizeFits All? A Generation Gap in ASEAN”.
Dalam studi yang dilakukan terhadap 1.800 anak muda yang lahir antara 1980-an hingga 1990an di enam negara ASEAN (Thailand, Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Filipina) tersebut, HILL ASEAN mempelajari persepsi dan kebiasaan dari sei-katsu-sha—lebih dari sekadar konsumen saja, seperti halnya kehidupan dan gaya hidup masyarakat yang tidak hanya berkutat di kegiatan belanja. Dan ditemukan adanya kesenjangan perilaku di antara kelompok usia mereka, terutama bagaimana mereka menjalankan kehidupan dan bekerja, penggunaan teknologi digital, dan perilaku belanja.
Menurut Farhana Devi, Executive Director of Strategy Hakuhodo Network Indonesia, membandingkan generasi 1980-an dan 1990-an ke dalam perspektif yang lebih dalam, HILL ASEAN menemukan bahwa setiap kelompok generasi memiliki perilaku yang berbeda akan kehidupan dan pekerjaan, interaksi digital, dan juga kebiasaan belanja mereka.
Millennials yang lahir pada 1980an, katanya, dipengaruhi oleh masa lalu yang sulit, dan juga masa depan yang menjanjikan. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih fleksibel terhadap kehidupan dan pekerjaan, namun tetap ingin menggapai kesempatan yang terlihat di depan mereka. Mereka adalah sekelompok orang yang tidak takut mengumbar sisi kehidupannya di dunia digital, di mana mereka menggunakan internet sebagai “panggung” untuk menciptakan sebuah persona yang dapat diakui oleh orang lain.
Ketika generasi 1980an pergi berbelanja, mereka ingin memilih barang yang terbaik untuk membantu mereka menciptakan persona tersebut. Jadi, untuk generasi 1980an, mereka selalu membandingkan produk di dua platform belanja (online dan offline) untuk mendapatkan barang yang terbaik, sehingga menjadikan fase perbandingan ini sangatlah penting.
“Karena itu, kami menyebut mereka 'Curator 1980s'. yang artinya mereka ingin diterima di segala tataran yang ada. Mereka akan menampilkan persona yang berbeda dan memilih informasi sehingga dapat fleksibel dalam meminimalisasi risiko dan memaksimalkan kesempatan,” ungkap Devi.
Sebaliknya, Millennials yang lahir pada 1990-an, hidup di situasi kehidupan masa depan yang lebih menjanjikan. Mereka hanya ingin bekerja sesuai dengan apa yang mereka rasa cocok dan sukai tanpa memisahkan kedua elemen itu. Tendensi yang sama juga terjadi di dunia digital, di mana generasi 1990-an tidak memiliki kesenjangan antara dunia nyata dan virtual. Digital hanyalah bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, sehingga mereka selalu menampilkan warna yang sesungguhnya.
Kata kunci berikutnya untuk generasi 1990-an adalah “pengalaman”, terutama pola belanja mereka yang tidak berhenti setelah mereka berbelanja. Mereka cenderung untuk berbagi pengalaman mereka pasca belanja. Gaya belanja mereka tidak lagi linear, namun membentuk suatu lingkaran proses. “Untuk itu, kami menyebut mereka 'Convergenator 1990s', yang secara sederhana ingin mengerjakan apa yang mereka sukai dan berbagi momen dan perasaan kepada orang lain, juga berbagi pengalaman dan evaluasi secara jujur baik terhadap dunia sebenarnya maupun virtual,” tutur Devi.
Menurutnya, Generasi Millennials jelas telah mencuri perhatian industri marketing dunia. Dengan nilai-nilai baru mereka serta kefasihannya dalam teknologi digital, Millennials sangat berbeda dari generasi-generasi sebelumya, dan sangatlah sulit untuk menjangkau mereka dengan pendekatan marketing tradisional.
“Zaman sekarang, ada unlimited information and resources. Karena beda dengan dulu, di mana konsumen sama rata bisa dijangkau secara massal dengan TV, tapi sekarang tidak bisa begitu. hadirnya media digital memungkinkan informasi konsumen menjadi unlimited. Jadi persepsi konsumen melihat dan menilai sesuatu di media sekarang juga berbeda. Tantangannya, brand jadi harus lebih segmented dalam membidik market, tidak bisa lagi mass seperti dulu. Apalagi untuk anak muda, mereka maunya personalized. Jadi brand perlu memahami masing-masing target market-nya, menjadi relevan, efektif, dan efisien,” pungkas Devi. (Marina)