Laporan World Bank 2016 mengungkapkan, rata-rata biaya logistik Indonesia selama tahun 2004-2011 mencapai 26,44% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Dari total biaya logistik tersebut, komponen biaya angkutan memberikan kontribusi terbesar (12,04% dari PDB). Sedangkan komponen biaya administrasi memberikan kontribusi terendah (4,52% dari PDB), dan kontribusi persediaan berada di urutan menengah dengan 9,47% dari PDB. Itu artinya, komponen biaya logistik terhadap PDB nasional menunjukkan bahwa kinerja logistik Indonesia masih kurang menggairahkan, sehingga mempengaruhi kondisi perekonomian nasional.
Dituturkan Pemerhati Pelabuhan dan Pelayaran R. Fajar Bagoes Poetranto dari WAM Consultant, "Laporan Studi Roadmap Maritim 4.0 IPB menunjukkan bahwa biaya logistik yang tinggi terjadi akibat dari biaya transaksi yang muncul dari pelabuhan kontainer. Biaya transaksi tersebut meliputi biaya dokumen, fee administrasi untuk custom clearance dan technical control, fee untuk custom broker, charges untuk terminal handling, dan transportasi darat."
Untuk itu, Kementerian Perhubungan melalui Ditjen Perhubungan Laut akan menggelar sejumlah program demi menjawab permasalahan tersebut. Antara lain, program yang mengoptimalkan peningkatan sistem layanan angkutan laut dalam negeri melalui teknologi informasi, seperti sistem inaportnet dan layanan e-ticketing, mengembangkan sistem informasi pelabuhan, serta penguatan dan integrasi sistem informasi perhubungan laut.
Saat ini, sistem yang telah berjalan adalah aplikasi Informasi Muat Ruang Kapal (IMRK) dan Inapornet untuk memudahkan pelaku usaha dan pemilik barang bisa mengetahui ruang kapal yang tersedia di kapal tol laut sesuai jadwal kapal tol laut.
Selain itu, ada Logistic Communication System (ILC) yang dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi jadwal kapal, posisi tracking kapal, ketersediaan container, shipping order, manifest dan biaya pengiriman, data statistik pengiriman muatan berangkat dan balik, sampai dengan harga jual barang kebutuhan pokok dan penting.
Sayangnya, tidak seluruh instansi pemerintah yang terkait dengan proses pengurusan dokumen barang terintegrasi di dalamnya. Wam Consultant juga memperhatikan kurangnya integrasi antar instansi keuangan, perdagangan, dan perhubungan. Hasilnya, platform teknologi informasi yang berada di bawah naungan mereka saling bersaing satu sama lain.
Sementara itu, pelabuhan maju dunia seperti China sudah mengarah ke system blochain dan big data. China Merchant Port Grup (CMP) menggandeng Alibaba Grup, membangun platform blockchain untuk mendukung pelabuhan yang lebih efisien, serta meningkatkan pendapatan. "Oleh karena itu, kami menggagaskan solusi bagi pelabuhan di Indonesia untuk membuat sistem terintegrasi yang memiliki visi meningkatkan efisiensi kinerja pelabuhan yang dikembangkan oleh anak bangsa," saran Bagoes.
Lebih jauh ia menerangkan, sistem ini dinamakan dengan HIU (Hybrid Integration Utilities). Sesuai dengan situasi pengembangan sistem pelabuhan di Indonesia, penggunaan kata Hybrid Integration melambangkan proses inovasi yang akan dilakukan antara sistem yang existing dengan sistem yang akan dikembangkan. Pengembangan Terminal Operating System diharapkan dapat mengorganisir Buffer Zone, mempercepat traffic proses Loading dan Discharging, dan menurunkan margin of error.
“Tahap pertama yang akan dilakukan dalam pengembangan sistem terintegrasi ini dengan melakukan adaptasi pola operasional, baik dari pengondisian sumber data dari manual menjadi otomatis, hingga pengembangan sumberdaya yang disesuaikan untuk mengadaptasi digitalisasi data. Dilanjutkan oleh tahap kedua yang masuk pada tahap implementasi dan integrasi teknologi terhadap sistem operasional pelabuhan,” papar Bagoes.
Sementara itu, ditambahkan Ade Alfian, Pemerhati IT Telecomunication, transformasi digital untuk smart port di pelabuhan ini dikhususkan port-port di Indonesia. “Kita juga harus ada kemajuan dari sisi teknologinya. Dengan digitalisasi ini maka akan lebih efisien, lebih hemat, dan lebih baik dibandingkan sistem yang sudah berjalan,” ucapnya.