MIX.co.id - Kondisi ekonomi yang terkontraksi akibat pandemi menjadi pemicu pertumbuhan pinjaman online (pinjol) ilegal untuk menjerat masyarakat yang sedang tertekan oleh himpitan ekonomi. Demikian disampaikan Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Maritim, Kementerian Kominfo, Septriana Tangkary pada acara Creativetalks Pojok Literasi “Hati-Hati Jebakan Pinjol!” pada hari ini (21/7), di Medan.
Lebih jauh ia menegaskan bahwa perempuan merupakan salah satu kelompok yang rentan terjerat pinjol ilegal. Lantaran saat pandemi, tidak sedikit perempuan, terutama ibu rumah tangga, memiliki suami yang mengalami penurunan pendapatan, atau bahkan pemecatan. Kondisi itu membuat perempuan dan masyarakat yang terhimpit ekonomi untuk mengambil jalan pintas melalui pinjol, karena kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan.
“Oleh karena itu, literasi digital memegang peranan penting dalam perjalanan Indonesia menuju Digital Nation. Jadi, tidak hanya infrastrukturnya yang gencar dibangun, tetapi juga kecakapan masyarakat kita untuk mengenali dan memahami dinamika di era digital, termasuk menjamurnya platform pinjol ilegal di media sosial," urainya.
Saat ini, Kominfo terus menggalakkan program Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD). GNLD memiliki empat pilar, yaitu budaya digital, etika digital, kecakapan digital, dan keamanan digital. Selama kurun waktu 2021-2024, GNLD akan diselenggarakan di 514 kabupaten/kota. Melalui gerakan ini Kominfo menargetkan 50 juta masyarakat Indonesia ter-literasi digital di tahun 2024.
“Indonesia juga mendapatkan kepercayaan sekaligus tanggung jawab lebih untuk memimpin Digital Economy Working Group (DEWG) yang pertama. Melalui forum DEWG, Kominfo berupaya untuk tidak hanya menyediakan, tetapi juga memberikan ruang digital yang aman dan produktif serta memastikan masyarakat sebagai penggunanya betul-betul dapat memanfaatkan ruang digital tersebut secara positif," urainya.
Pada kesempatan yang sama, Irwan Tri Nugroho, Ketua UNS Fintech Center, mengatakan, masifnya teknologi di zaman sekarang ini sangat memiliki pengaruh pada sektor keuangan. Hal itu didorong dengan berbagai macam penetrasi internet dan smartphone.
“Adapun yang bermain di dalam basis teknologi saat ini adalah perbankan, yang mana sudah mulai melakukan transformasi digital. Selain itu, adapula perusahaan-perusahaan fintech start-up dan juga Bigtech in Finance seperti GoJek yang memiliki Go-Pay,” lanjutnya.
Menurutnya, sisi baik fintech adalah meningkatkan inklusi keuangan, karena memiliki kemampuan untuk menjangkau orang-orang yang mungkin berada di remote area dan lain sebagainya.
Sebagai aktivis tuli dan peneliti, Adhi Kusumo Nugroho menambahkan, tantangan tuli dalam mengakses keuangan saat ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok lain. Adapun tantangan lainnya adalah minimnya akses yang ramah bagi tuli di sektor keuangan dan keterbatasan akses, sehingga tidak memiliki pilihan untuk mengejar kehidupan yang ideal.
Untuk itu, ia berharap ke depannya perlu dipertimbangkan membangun pendidikan yang dapat mengembangkan potensi tuli sehingga dapat bersaing di dunia kerja atau bisnis, menggandeng lembaga, institusi, komunitas, organisasi, disabilitas terutama tuli, menciptakan ekosistem yang aksesibel dan inklusif, serta lokakarya dan program keuangan khusus bagi masyarakat tuli.