MIX.co.id – Roche Indonesia bekerja sama dengan RSUP Persahabatan dan Cancer Information & Support Center (CISC) menggelar diskusi dalam rangka memperingati Bulan Peduli Kanker Paru Sedunia.
Diskusi menyoroti pentingnya akses diagnosis yang saat ini belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan, khususnya untuk pemeriksaan imunohistokimia (IHK) dan molekuler.
Meningkatnya pemahaman masyarakat dan aksesibilitas terhadap pemeriksaan imunohistokimia dan molekuler berperan penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru, menekan angka kasus kematian, dan beban pembiayaan kanker.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengutarakan, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini sudah semakin meningkat. Meski demikian, pemahaman tentang pemeriksaan dengan metode IHK, terutama bagi pasien kanker paru masih menemui tantangan.
“Kolaborasi dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat membuka akses tes yang lebih luas bagi masyarakat,” ujarnya sebagai pembicara diskusi yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (28/11).
Berdasarkan data terbaru, sebanyak 90% pasien kanker paru datang ke dokter setelah mereka memasuki stadium lanjut sehingga menyebabkan keterlambatan dalam penanganan kanker dan meningkatkan risiko kematian pada pasien.
Padahal. kanker paru menjadi jenis kanker dengan kasus kematian paling tinggi di Indonesia. Sebanyak 34.783 orang terdiagnosis, dan 30.483 di antaranya meninggal.
Pemeriksaan molekuler pada kanker paru sangat menentukan terapi yang optimal. Sesuai dengan panduan tatalaksana nasional, pemeriksaan molekuler standar yang wajib dilakukan adalah EGFR, ALK, PD-L1 dan ROS-1 untuk KPKBSK (kanker paru bukan sel kecil).
Menurut Pakar Onkologi Toraks RSUP Persahabatan dan Direktur Eksekutif Asosiasi Studi Onkologi Toraks Indonesia (IASTO) Elisna Syahruddin, saat ini baru pemeriksaan EGFR yang telah dijamin oleh BPJS Kesehatan, namun terbatas pada jenis sel tertentu. Sementara pemeriksaan lain seperti ALK, PD-L1, ROS-1 belum dijamin.
Angka positif EGFR di Indonesia berkisar 45-50%, di mana masih ada sekitar 50% pasien BPJS yang mutasinya belum teridentifikasi sehingga kelompok tersebut kemungkinan besar belum mendapatkan terapi sesuai.
“Tentunya, hal ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien, namun berdampak pula pada efisiensi biaya pelayanan kesehatan pada kanker paru di BPJS,” ungkap Elisna.
Kanker paru merupakan kanker tertinggi ke-3 di Indonesia,...