Penghujung Februari ini, isu penarikan produk camilan keluaran Mars beredar di media online, baik di global maupun nasional. Isu tersebut pun berpotensi viral di social media. Padahal, di Indonesia, saat ini Mars tengah agresif berkampanye di media televisi maupun instore. Salah satunya, lewat merek coklat Dove yang belakangan iklannya tengah rajin menghias layar kaca.
Produk Cemilan Merek Mars
Terkait isu tersbut, BBC menyebutkan bahwa produk yang beredar di 55 negara itu diputuskan untuk ditarik. Produk tersebut meliputi Snickers, Mars 'fun size', Milky Way, dan Box of Celebrations. Jumlah produk itu tercatat mencapai jutaan buah. Mars Belanda, Jerman, Spanyol, Prancis, Belgia, Italia, dan Inggris termasuk negara yang menarik produk ini. Langkah itu dilakukan sebagai bentuk pencegahan karena ada salah satu konsumen yang melapor menemukan kandungan plastik berwarna merah dalam salah satu produk mereka.
Di industri Consumer Goods, khususnya food, kasus seperti itu memang tak terhindari. Itu sebabnya, sebelum Mars, brand lain lebih dulu mengalaminya. Dikatakan Bambang Sumaryanto, Dosen Komunikasi Universitas Indonesia yang pernah cukup lama menjabat sebagai Direktur Konunikasi P&G Indonesia, "P&G pernah menghadapi kasus dugaan adanya produk out of standard Oral B mouthwash sekitar empat tahun yang lalu."
Diakui Bambang, kasus product defect--apapun sebabnya--seperti kasus Mars merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Sebab, tak ada jaminan produk akan 100% sempurna. "Melihat liputan BBC, jelas terlihat bahwa kasus semacam ini bukanlah merupakan kasus yang pertama. Oleh karena itu, selayaknya Mars sudah memiliki prosedur tetap dan baku dalam mengantisipasi masalah semacam ini," ia menganalisis.
Sayangnya, berdasarkan berita yang beredar, ternyata situasinya menjadi out of control. Lantaran, ketika kasus itu diketahui di negara-negara Eropa, justru website-nya tak bisa diakses (23/2). Bahkan, konsumen tak bisa memperoleh penjelasan sama sekali. "Baru, pada beberapa hari kemudian, ada statement resmi dari Mars," lanjutnya.
Hal itu, menurut Bambang, menunjukkan ketidaksiapan manajemen Mars dalam mengelola ketidakpastian dengan informasi yang terbatas. Fatalnya, katanya, Mars menutup informasi ke luar sampai mereka punya informasi yang lebih lengkap. Misalnya, informasi tentang nomor batch produk yang mengandung plastik tersebut, analisa penyebabnya, mungkin juga menjajagi kemungkinan terjadinya memang benar-benar di pabrik atau di luar.
"Apapapun alasannya, seharusnya begitu masalah itu meledak dan bocor ke masyarakat, pertama kali yang harus dilakukan Mars adalah membuka informasi kepada masyarakat. Meskipun sekadar menjelaskan bahwa perusahaan sedang melakukan investigasi sambil menekankan komitmen Mars dalam mengutamakan keamanan produk. Absennya informasi di saat awal inilah yang kemudian semakin membuat banyak spekulasi. Media atau pihak ketiga pun akhirnya berusaha menggali informasi dari pihak lain, karena Mars menutup diri," saran Bambang.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan Mars Indonesia menghadapi isu tersebut? Diyakini Bambang, tentu saja Mars Indonesia akan menunggu guidance dari kantor pusat yang masih melakukan investigasi. "Mengingat kasus ini produk pangan dan sangat sensitif, maka Mars Indonesia tentu perlu segera melaporkan kasus ini secara proaktif kepada pihak regulator, yaitu BPOM," anjur Bambang.
Hal itu perlu dilakukan, ujar Bambang, karena demi menunjukkan kepada BPOM bahwa Mars sangat serius dan bergerak cepat dalam melakukan penanganan ini. Langkah itu juga sebagai tindakan antisipasi agar tak ditemukan kasus serupa di Indonesia. "Perlu diketahui juga, berdasarkan berita, produk ini merupakan produk yang diperoduksi antara Desember-Januari dan kasus pertama ditemukan bulan Februari. Untuk itu, pihak Mars Indonesia harus mampu menunjukkan kepada BPOM bahwa batch dengan periode tersebut apakah telah didistribusikan di Indonesia atau belum. Bila sudah, ke mana saja dan berapa jumlahnya. Sebagai perusahaan multinasional, tentunya mereka punya data dari warehouse mereka ke mana saja batch tersebut telah dikirim," terang Bambang.
Langkah selanjutnya adalah pengelolaan komunikasi ke konsumen, sehingga tak berujung krisis. Menurut Bambang, Mars perlu menyadari bahwa saat ini dunia telah borderless dalam hal informasi. Bisunya Mars Global juga akan memicu spekulasi. "Memang mereka kemudian memasang klarifikasi di website-nya tentang penjelasan singkat mengenai kasus tersebut, yang menurut saya belum memadai untuk menentramkan. Apalagi, kasus ini sudah terjadi selama beberapa hari," lanjutnya.
Di bagian akhir penjelasan, pihak Mars menghimbau untuk menghubungi layanan konsumen, yang sayangnya Mars tidak mencantuman nomor hotline-nya di sana. Padahal, kata Bambang, standard krisis adalah disediakan extra nomor untuk hotline. "Kalau biasanya 4 lines, maka untuk kasus krisis semestinya bisa sampai 10 lines. Semuanya tergantung berapa banyak yang menelepon," ucapnya.
Selain itu, ditambahkan Bambang, social media juga perlu...