Upaya KGSB Tekan Angka Putus Sekolah

MIX.co.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa angka putus sekolah di Indonesia terus meningkat sejak 2019 hingga 2022. Secara rinci, angka putus sekolah di jenjang SD mencapai 0,13% di tahun 2022. Persentasenya meningkat 0,01% dibandingkan 2021 yang sebesar 0,12%. Pada jenjang SMP, angka putus sekolah tercatat sebesar 1,06% pada 2022. Persentase tersebut juga meningkat 0,16% poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 0,90%. Kemudian angka putus sekolah di jenjang SMA mencapai 1,38% pada 2022 yang juga naik 0,26% poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 1,12%. Ini menunjukkan terdapat 13 anak dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang tersebut.

Berangkat dari fakta itu, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar Webinar ‘Mencegah dan Menangani Remaja Putus Sekolah Melalui Konseling Psikososial’ sebagai upaya untuk mengurangi angka putus sekolah.

Webinar itu menghadirkan dua pembicara, yakni Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt. yang merupakan Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Barat Kemdikbud Ristek RI serta Yuliezar Perwira Dara, S.Psi., M.Psi., Dosen Departemen Psikologi Universitas Brawijaya.

Founder KGSB Ruth Andriani menerangkan bahwa putus sekolah merupakan permasalahan yang memerlukan kolaborasi segala pihak, khususnya guru sebagai garda terdepan. “Sebanyak 81% guru anggota KGSB memiliki siswa yang putus sekolah. Alasan terbesarnya karena pengaruh lingkungan yang tidak baik, kurangnya motivasi belajar, dan faktor keluarga yang tidak harmonis. Kami berharap kegiatan ini dapat menjadi solusi, sekaligus momen untuk para guru bertindak nyata dalam mencegah siswa putus sekolah”, ucapnya.

Ditambahkan Dosen Departemen Psikologi Universitas Brawijaya, Yuliezar Perwira Dara, S.Psi., M.Psi., mengatakan bahwa penyebab putus sekolah tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, namun banyak faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut. Beberapa di antaranya pernikahan dini, bullying, kurangnya motivasi, kurangnya kesadaran siswa dan orang tua akan pendidikan, hingga keragaman atau heterogenitas siswa yang mengarah pada perilaku maladaptive, sehingga menyebabkan putus sekolah.

Adapun penanganan yang dapat dilakukan adalah melakukan prevensi jika permasalan belum terjadi dan intervensi jika sudah terjadi. Prevensi dapat dilakukan dalam empat hal, yaitu yang pertama dengan melakukan identifikasi dini kepada siswa yang berisiko putus sekolah. Identifikasi dapat dilihat dari sikap, prilaku, dan kedisiplinan di sekolah. Kedua, pendampingan intensif oleh guru atau lingkungan siswa. Ketiga, psikoedukasi melalui pembekalan diri kepada siswa untuk menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan putus sekolah. Keempat, memberikan pelatihan atau memberikan keterampilan kecakapan hidup atau yang terkait minat siswa.

Kemudian intervensi dapat dilakukan salah satunya melalui konseling. Adapun konseling dapat dilakukan kepada individu maupun kelompok. Intervensi melalui konseling dapat dilakukan langsung kepada siswa, ataupun melalui keluarga, teman sebaya, hingga pihak sekolah. Tindak prevensi dan intervensi ini diharapkan dapat menekan angka putus sekolah hingga meningkatkan psikologis dan kualitas siswa.

“Konselor atau guru yang baik harus dapat membina hubungan baik dengan siswa, menerapkan konseling yang berpusat pada siswa, memiliki empati, memberikan perhatian positif tanpa pamrih, serta memiliki sifat yang tulus dan terbuka”, ungkap Yuliezar.

Sementara itu, Founder Rumah Guru BK Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt. menambahkan, guru Bimbingan Konseling (BK) harus bisa mengenali siswa yang berpotensi putus sekolah. “Guru BK dapat melakukan asesmen kepada siswa dengan pengumpulan data melalui penelusuran bakat dan minat. Data yang dikumpulkan dapat berupa daftar kehadiran, perilaku di sekolah, dan perkembangan akademik siswa. Namun yang terpenting adalah guru dapat meyakinkan siswa akan hal-hal yang mungkin terjadi kedepannya jika siswa mengalami putus sekolah," terang Ana.

Beragam upaya dilakukan untuk mengatasi permasalahan putus sekolah, contohnya di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Hingga akhir tahun 2022, total terdapat 4.834 siswa yang harus berhenti sekolah di Kabupaten Banyuwangi. Berbagai inovasi diluncurkan oleh Pemkab setempat, seperti program Siswa Asuh Sebaya (SAS), serta program Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah (Garda Ampuh).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)