London School of Public Relation (LSPR) bekerjasama dengan Radio Lite FM pada Senin, (10/11/2014) menyelenggarakan diskusi santai bertajuk Social Media for Public Relations dalam program radio PR Corner yang bertempat di Prof. Dr. Djajusman Auditorium and Performance Hall, LSPR Jakarta. Dalam diskusi yang berlangsung sejak pukul 20.00 WIB tersebut, Prita Kemal G, Host PR Corner dan Founder LSPR mengatakan sosial media adalah kanal komunikasi krusial di era digital bagi insan PR dalam berkomunikasi.
Diskusi santai bertajuk Social Media for Public Relations (Foto: IST)
Dalam diskusi santai yang di hadiri lebih dari 100 orang tersebut, menghadirkan para pembicara handal yakni Nukman Luthfie (pengamat sosial media), Arifin Asydhad (Chief Editor Detik.com), dan Renee Suhardono (Career Coach and Author). Sebagai praktisi di industri public relations, social media adalah alternatif media untuk dapat menjangkau masyarakat digital (netizen). "Dulu PR hanya itu-itu saja (konvensional) yakni Goverment PR, Marketing PR,dan lainnya dan tidak direct dalam penyampaian pesannya. Maka sosial media mampu menjangkau hal yang lebih jauh lagi terutama untuk engaged," sebut Nukman luthfie, pakar sosial media.
Sosial media juga memiliki hirarki dimana hal itu adalah karakter unik yang mudah dikenali. Menurut Nukman, diurutan pertama adalah Creator, yang aktif memberikan konten berupa word, picture, dan video secara konsisten. Diurutan kedua adalah Conversationalist,dimana hanya rajin mengobrol dan melakukan percakapan. Terakhir di urutan ketiga adalah Critics, yang hanya mengkritik saja tanpa memberikan konten.
Dalam sosial media, menurut Nukman, engagement adalah kunci untuk bisa berkomunikasi. "Sebagai PR kalau tidak up date dengan digital dan teknologi maka akan ketinggalan." Lanjutnya, karena kini sosial media sebagai bagian dari public relations.
"Kini publik memiliki sendiri medianya dimana environment klasik beda dengan digital. Ketika sebuah person, brand, atau corporate masuk ke social media maka harus tahu apa yan ingin disampaikan. Baik itu konten, image, target market (netizen), dan lainnya harus sudah jelas. Namun perlu juga diingat bahwa social media bukan satu-satunya jalur komunikasi tapi hanya salah satu kanal."
Social media sebagai basis komunikasi, ungkap Nukman, sebagai seorang PR peranannya semakin krusial. "Di era ini omongan orang lain itu ternyata memiliki kadar referensi cukup tinggi dibandingkan dengan iklan itu apapun - referensi," sebutnya. Oleh karena itu, imbuh Nukman, peran komunikasi PR era digital adalah membangun percakapan dan persepsi yang multi arah dan multi channel.
Maka dalam strateginya, seorang PR juga harus bisa memanfaatkan peran buzzer dan influencer yang dapat menjadi key person product yang dapat menginspirasi untuk engaged dengan follower. Bahkan, sebut Nukman, siapapun dapat membangun percakapan untuk engagement. Pemilihan buzzer dan influencer yang baik salah satu indikatornya adalah populasi fans atau follower yang besar dan mampu memberikan pengaruh kepada follower-nya.
Sementara itu, Chief Editor Detik.com Arifin Asydhad menyebutkan bahwa di dunia jurnalistik peran sosial media juga digunakan untuk menyebarkan berita karena kini konsumen (pembaca) banyak menggunakan smartphone. “Kita lihat pergeseran pengguna smartphone banyak dan mereka gemar untuk membaca berita lebih dari pengguna PC atau bahkan kini paper (koran).”
Karena itu, sebut Arifin, banyak di perusahaan tidak hanya di industri media saja, posisi sosial media spesialis penting ada di struktur organisasi. Malah, Nukman menambahkan, dari perusahaan 500 fortune hampir 100 persen memiliki sosial media manager dan itu menandakan bahwa perusahaan sudah mulai peduli dengan apa yang terjadi di pasar dan tingkat konsumen yang mengkonsumsi digital.
Terkait dengan personal branding di sosial media, Nukman lantas menuturkan, sebagai seorang netizen atau mewakili institusi (brand atau corporate) prosentase konten harus 30% adalah apa yang ingin dibangun (persepsi) dan sisanya 70% adalah untuk kesenangan.
Sementara untuk mencari Key Performance Indikator (KPI), sebut Nukman, bisa menggunakan dilihat dari conversation yang sudah disaring lebih dulu nilai positif atau negatifnya. Kemudian, lanjutnya, adalah share of voice, dan terakhir frekuensi percakapan.