MIX.co.id - Selepas lulus SMAK 2 Penabur Jakarta, Sugiarto Witaria yang akrab disapa Sugi, langsung memilih jurusan arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat. Keputusan itu dipicu oleh kecintaannya pada dunia arsitektur sejak remaja.
Arsitektur merupakan salah satu jurusan favorit di kampus tersebut. Bukan hal yang mudah untuk bisa lolos seleksi dan menjadi mahasiswa di Arsitektur Unpar. Pria kelahiran 28 Mei 1979 itu kemudian menguji keberuntungannya dengan mencari pekerjaan di Beijing, China. Pada 2003, China tengah bersiap untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2008.
“Jadi, awalnya saya ke China itu atas permintaan orangtua, lalu saya berangkat lah dengan visa turis. Tapi, waktu itu China lagi banyak persiapan pembangunan untuk Olimpiade 2008 di Beijing. Jadi, saya mencoba melamar di salah satu perusahan desain arsitektural di sana yang tidak hanya merancang tapi juga membangun,” kisah Sugi.
Selama lebih dari 10 tahun, Sugi malang-melintang di Beijing melakukan hal yang disukainya, yaitu arsitektur. Setelah sempat merasakan kerja di tiga perusahaan yang berbeda, Sugi memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
“Pas balik ke Indonesia saya terpikir untuk mengajarkan dasar-dasar arsitektur kepada anak-anak sejak usia dini. Inisiatif yang sudah saya lakukan waktu masih kuliah. Ketika itu sambil memberikan pengajaran menggambar arsitektur kepada siswa yang ingin ikut tes masuk ke jurusan arsitektur Unpar,” terang Sugi.
Ide itulah yang kemudian direalisasikan menjadi Archkidtecton yang punya cita-cita memperkenalkan dasar-dasar arsitektur kepada anak-anak sejak usia dini.
“Jadi, Archkidtecton itu didirikan bukan untuk membuat anak-anak menjadi seorang arsitek. Anak-anak bisa menjadi apa saja sesuai dengan minat mereka. Yang kami ajarkan adalah dasar-dasar desain arsitektur sambil membuat proyek baik secara individu atau berkelompok,” ungkap Sugi.
Di zaman yang serba instan ini, imbuhnya, ternyata banyak anak-anak yang kesulitan memahami bentuk dalam dimensi 2D atau 3D. Bahkan, sempat terkejut ketika banyak peserta yang sudah cukup besar tidak bisa memotong dengan lurus menggunakan gunting.
“Materi yang kami ajarkan berfokus pada dasar-dasar desain arsitektur. Salah satunya seperti memahami bentuk atau objek dalam 2D dan 3D. Program Archkidtecton bertujuan untuk mengenalkan anak-anak sejak dini pada konsep-konsep ini. Mengapa pemahaman 2D dan 3D penting? Karena dengan memahami bentuk dari berbagai sudut pandang memutar, membalik, membedah, atau memotong objek, anak-anak dilatih untuk melihat suatu masalah dari berbagai sisi. Pendekatan ini akan memberikan data yang lengkap, yang kemudian dapat digunakan untuk menemukan solusi masalah secara kreatif, inovatif serta artistik," urai Sugi.
Suami dari Erika Halim pemilik klinik kesehatan IGorgeous dan Genqi itu menjelaskan, semua murid yang belajar di Archkidtecton belajar dari nol mulai dari dua dimensi dan juga tiga dimensi.
Sugi menambahkan, anak murid di Archkidtecton mulai dari usia 7 hingga 15 tahun. Biasanya, mereka belajar 4 kali dalam sebulan dengan biaya antara Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta per bulan.
“Visi Archkidecton adalah mendorong anak-anak Indonesia untuk lebih menikmati proses belajar dibandingkan sekadar mengejar hasil instan. Kami juga ingin lebih banyak anak dikenalkan ke bidang arsitektur, karena arsitektur adalah salah satu wadah yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) dengan Art atau seni. Ini adalah cara yang menyenangkan dan kreatif untuk mengembangkan banyak keterampilan sekaligus. Yang lebih seru lagi, karena dapat diaplikasikan ke banyak cabang lain. Jadi, tidak hanya untuk profesi arsitek tapi juga bisa untuk profesi lain seperti interior designer, fashion designer, product designer, game designer, film set desainer atau bisa juga jadi sutradara, dan sebagainya," tutup Sugi.