Tim Backbone JNE di Era Disrupsi

Disrupsi mengubah strategi bisnis JNE. Kini perusahaan logistik yang berdiri sejak 1990 itu lebih merapat ke para pengambil keputusan dalam sistem delivery e-commerce. Maklum, kontribusi e-commerce terhadap revenue JNE mencapai lebih dari 40%.

Tahun 2008 adalah salah satu turning point moment perjalanan perusahahan jasa pengiriman barang JNE di Indonesia. Ditandai dengan kemunculan salah satu perusahaan e-commerce, strategi bisnis JNE mengalami shifting cukup cepat. Sebelum 2008, konsumen yang datang ke JNE adalah pemilik barang yang akan mengirimkan barangnya. Tetapi sejak 2008, sejak berkembangnya e-commerce, orang yang datang ke JNE bukan lagi pemilik barang, melainkan pihak lain yang diminta untuk mengirimkan barang yang dipesan pembeli yang jauh, dan mungkin tidak kenal JNE.

Menurut Eri Palgunadi, Vice President Marketing JNE, hal tersebut mengubah strategi bisnis perusahaan, sehingga JNE sekarang “berjualan” langsung ke pengambil keputusan dalam sistem delivery e-commerce. “Kami shifting banget. Jadi kami tidak boleh salah, karena bujet terbatas. Strateginya harus benar-benar efektif dan tepat,” ujarnya.

Bagi tim marketing JNE, e-commerce memiliki daya dorong dan impact luar biasa terhadap bisnis JNE. Dari total 100% revenue, sebanyak 80% dikontribusi dari retail, di mana 50%-60% dari marketplace e-commerce. Kehadiran e-commerce ini tidak hanya berdampak kepada JNE sebagai penyedia jasa logistik, melainkan juga kepada layanan sistem pembayaran dan perbankan.

“Saat ini kami termasuk di dalam sebuah ekosistem bisnis yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu marketplace, jasa keuangan, dan logistik. Kalau di industri jasa keuangan sekarang bermunculan fintech, seharusnya di industri logistik muncul lotech.” Jadi,JNE sebagai salah satu bagian dari ekosistem ini, harus siap juga dengan segala perubahan yang bisa terjadi kapan saja, imbuh Eri.

Dalam pandangan Eri, tantangan terbesar dalam era disrupsi adalah people mindset. Dan ada tiga mindset yang disyaratkan bagi tim marketing JNE agar bisa mendukung daya tahan perusahaan di era disrupsi. Pertama, mindset selalu mau belajar, terutama untuk tidak merasa sungkan belajar dari generasi yang lebih muda. Kedua, mau berbicara. “Ini yang sering menjadi kelemahan perusahaan di Indonesia. Tetapi kita harus berani bicara apa yang kurang dari strategi kita, apa yang harus diperbaiki untuk mencapai target ke depan,” katanya. Ketiga, mau bertindak melakukan action, tidak diam saja melihat perubahan yang terjadi.

Tim marketing JNE, disebut juga sebagai tim backbone, hadir sejak 2015, berada di bawah sub-direktorat. Sebelumnya tim ini hanya setingkat departemen. Namun sejak 2015 posisinya naik menjadi setingkat divisi, dan dimekarkan menjadi dua divisi, yaitu Divisi Marketing Research yang terdiri dari Product & Price Development Department dan Customer Loyalty Department; dan Divisi Marketing Communication yang terdiri dari Promotion & Activation Department, Corporate Branding Department, dan Media Relation Department.

Berbicara soal prestasi, Eri mengatakan, “wecreate the story and celebrate the story, even the small story.” “Pertanyaannya, story apa yang sudah kami bangun selama ini? Bisa dilihat dari apresiasi media, juga berbagai awarding yang kami raih. Tetapi ini sifatnya adalah prestasi yang datang dari luar,” katanya. Sementara itu, prestasi monumental yang menjadi golden moment bagi tim adalah ketika JNE mengapresiasi konsumen dalam program JNE Loyalty Card (JLC) dalam bentuk hadiah berupa barang.

“Sampai saat ini, anggota JLC tercatat lebih dari 100 ribu. Memang belum banyak, tapi cukup signifikan, karena dari database ini, kami jadi bisa tahu behaviour atau kebiasaaan-kebiasaan unik setiap anggota. Selain itu pencapaian lain tim ini adalah lewat social media. Social media kami perkuat di kategori kuliner dan logistik. Kami juga dibantu rekan-rekan UKM, sehingga JNE menjadi top of mind,” imbuh Eri.

Ada tiga langkah yang diterapkan tim marketing JNE dalam membangun brand value lewat media digital. Pertama, konten. Marketing is all about creating content and value. Kedua, tools, ini penting untuk melihat KPI engagement dari konten yang dibuat. Ketiga, structuring, karena total SDM JNE ada 15 ribu ditambah total agen menjadi 45 ribu di seluruh Indonesia, maka kolaborasi menjadi isu penting.

Structuring penting. Misalnya, teman-teman di daerah punya isu yang bagus, kita bisa punya networking social media dengan jangkauan/landscape yang lebih luas, baik secara isu konten lokal yang mau diangkat hingga menemukan the hero from the employee. Untuk itu, butuh kerja sama pusat dan daerah.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)