KETIKA KONSUMEN MENGGUGAT: PELAJARAN MORAL DAN STRATEGIS DARI BUD LIGHT

Satu keputusan kampanye Bud Light memicu badai boikot dan perpindahan konsumen. Saat identitas merek bersinggungan dengan nilai politik, loyalitas diuji, dan narasi jadi medan pertempuran.

.

.

Dalam dunia komunikasi merek yang hiper-sensitif dan terpolarisasi, satu langkah kecil bisa membawa konsekuensi besar.

Tahun 2023, Bud Light—merek bir yang sudah puluhan tahun menempati ruang sosial budaya Amerika—mengambil keputusan untuk menggandeng Dylan Mulvaney, seorang influencer transgender, dalam kampanye promosi singkat.

Satu kaleng bir edisi khusus dengan wajah Mulvaney dikirimkan sebagai bagian dari kolaborasi media sosial.

Bagi sebagian pihak, itu adalah wujud inklusivitas; bagi sebagian lain, terutama konsumen konservatif, itu adalah simbol dari “agenda politik” yang mereka tolak.

Reaksi keras muncul hampir seketika. Video viral memperlihatkan publik figur sayap kanan seperti Kid Rock menembaki kaleng Bud Light.

Tokoh-tokoh konservatif menyerukan boikot. Media sosial pun berubah menjadi medan perang identitas: antara progresivitas dan tradisi, antara nilai keragaman dan loyalitas budaya.

Yang jelas, Bud Light terjepit di tengah.

Kenapa ini menjadi persoalan besar? Karena Bud Light selama ini identik dengan maskulinitas tradisional, dengan basis konsumen yang secara demografis cenderung konservatif.

Maka ketika simbol LGBTQ+ tampil dalam kampanyenya, banyak yang merasa itu bukan hanya keputusan kreatif—melainkan pengkhianatan terhadap identitas yang selama ini dibangun merek tersebut bersama konsumennya. Ini bukan sekadar iklan.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)