Dalam membangun sebuah pendekatan experiential marketing, Schmitt (1999) menghubungkannya dengan teori hierarki Maslow. Schmitt menyebutkan, “If you start from scratch, the recommended sequence is the order in which I discussed the SEMs in this book: SENSE FEEL THINK ACT RELATE. SENSE attracts attention and motivates. FEEL creates an affectives bond and makes the experience personally relevant and rewarding. THINK adds a permanent cognitive interest to the experience. ACT induces a behavioral commitment, loyalty, and a view to the future. RELATE goes beyond the undividual experience and makes it meaningful in a broader social context.
Jadi, kata Schmitt, jika Anda memulai dari awal, urutan yang disarankan adalah urutan sense-feel-think-act-relate. SENSE menarik perhatian dan memotivasi. FEEL menciptakan ikatan yang efektif dan membuat pengalaman pribadi yang relevan dan bermanfaat.
THINK menambahkan minat kognitif permanen kepada pengalaman yang diberikan. ACT menginduksi komitmen perilaku, loyalitas, dan pandangan ke masa depan. RELATE melampaui pengalaman individu dan membuatnya bermakna dalam konteks sosial yang lebih luas.
Selain itu, Schmitt juga mengemukakan beberapa cara untuk membentuk dan mengelola merek yang experiential. Konsep ini dirangkum menjadi poin-poin dalam Experiential Branding: 10 Rules to Create and Manage Experiential Brands.
1. Experiences don’t just happen; they need to be planned. Jadi experience itu tidak akan terjadi begitu saja, namun harus direncanakan. Dan dalam proses perencanaan, seorang pemasar harus kreatif, memanfaatkan kejutan, intrik, dan bahkan provokasi.
2. Think about the customer experience first. Pikirkan pertama kali tentang pengalaman konsumen. Setelah itu, barulah seorang pemasar dapat menentukan karakteristik-karakteristik fungsional dari sebuah produk dan manfaat dari merek yang ada.
3. Be obsessive about the details of the experience. Obsesiflah tentang detil dari pengalaman yang ingin diberikan kepada konsumen. Konsep pemuasan kebutuhan konsumen tradisional melewatkan unsur-unsur sensori, perasaan hangat yang dirasakan konsumen, serta ‘cuci otak’ konsumen, yang meliputi pemuasan seluruh tubuh dan seluruh pikiran konsumen. Schmitt (1999) menyebutnya “Exultate Jubilate” yang berarti kepuasan yang amat sangat.
Baca Juga
4. Find the “duck” for your brand. Maknanya, seorang pemasar diharapkan mampu memberikan suatu karakter yang memberikan kesan yang mendalam, yang akan terus-menerus membangkitkan kenangan, sehingga konsumen menjadi loyal. Karakter ini adalah suatu elemen kecil yang sangat mengesankan, membingkai, dan merangkum keseluruhan experience yang dirasakan konsumen.
5. Think consumption situation, not product. Pikirkan tentang situasi mengonsumsi, bukan semata produk.
6. Strive for “holistic experiences”. Holistic, seperti yang telah disebutkan di atas, adalah sebuah perasaan yang luar biasa, menyentuh hati, menantang intelegensi, relevan dengan gaya hidup konsumen, dan memberikan hubungan yang mendalam antar konsumen.
7. Profile and track experiential impact with the Experiential Grid. Buatlah profil dan telusuri dampak experiential dengan tabel atau semacam kisi-kisi experiential.
8. Use methodologies eclectically. Gunakan metode eklektik. Metode ini merupakan metode penelitian pemasaran berbentuk kuantitatif maupun kualitatif, verbal maupun visual, dan di dalam maupun di luar laboratorium. Pemasar dalam meneliti harus eksploratif dan kreatif, serta menomorsekiankan tentang reliabilitas, validitas, dan kecanggihan metodologinya.
9. Consider how the experience changes. Pemasar terutama harus memikirkan hal ini ketika
perusahaan memutuskan untuk memperluas merek ke dalam kategori baru.
10. Add dynamism and “dionysianism” to your company and brand. Kebanyakan organisasi dan perusahaan pemilik merek terlalu takut, terlalu perlahan, dan terlalu birokratis. Untuk itulah dionysianism perlu diterapkan. Dionysianism adalah kedinamisan, gairah, dan kreativitas.