Malaysia Airlines akan memangkas 6.000 karyawannya, atau sekitar 30 persen dari jumlah tenaga kerja-nya. Maskapai milik negara Malaysia tersebut juga akan menerima bailout dari pemerintah senilai USD 2 milyar, berdasarkan rencara restrukturisasi yang diumumkan pada Jumat (29/8) lalu.
Seperti yang dilansir MIX Marcomm dari www.nytimes.com, dalam beberapa tahun terakhir ini, Malaysia Airlines mengalami kerugian. Kondisi tersebut diperparah dengan insiden hilangnya penerbangan MH370 di atas Samudera Hindia pada Maret lalu dan jatuhnya penerbangan MH17 di negara Ukraina bagian utara pada Juli 2014 lalu.
Azman Mokhtar, Managing Director Khazanah Nasional, perusahaan induk cabang investasi Pemerintah Malaysia di bawah kementerian keuangan yang merupakan pemegang saham terbesar di maskapai penerbangan tersebut, mengungkapkan bahwa pemerintah akan memberikan bantuan kepada maskapai tersebut hingga 6 milyar ringgit atau setara dengan USD1.9 milyar.
Menurut Khazanah Nasional, akan ada perubahan kepemimpinan di struktur organisasi. Sementara itu, Malaysia Airlines juga sedang mencari talent baru untuk posisi Chief Executive Officer, menggantikan Ahmad Jauhari Yahya yang akan mengakhiri jabatannya pada medio September ini.
Pada Selasa 26 Agustus lalu, Malaysia Airlines dilaporkan mengalami kerugian sebesar USD 97.6 juta periode kuartal kedua yang berakhir Juni. Maskapai Malaysia tersebut juga sudah memprediksi kerugian di kuartal ketiga sebagai efek dari insiden penerbangan MH17. Sebagai catatan, Malaysia sebenarnya tidak pernah lagi mendapat laba tahunan sejak tahun 2010.
Malaysia Airlines sudah mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah jauh sebelum insiden MH370 dan MH17. Kondisi maskapai ini sudah semakin terjepit di beberapa tahun terakhir akibat persaingan dari low-cost carrier, seperti AirAsia yang didirikan oleh miliarder Malaysia Tony Fernandes. Menurut Center for Asia Pacific Aviation di Sydney, Australia, saat ini maskapai penerbangan berbiaya rendah menguasai hampir 60% dari pasar air travel atau perjalanan udara di Asia Tenggara.
Dalam satu dekade terakhir, Malaysia Airlines sebenarnya sudah menerima lebih dari USD 1 milyar dari Khazanah Nasional dan sebelumnya menjalani empat restrukturisasi. Namun para analis menilai upaya reformasi tersebut tidak efisien, ditambah dengan masalah seperti armada yang terlalu besar dan sudah tua, membuka rute baru yang berlebihan, kultur manajemen yang kaku, dan jumlah karyawan yang membengkak, berjumlah 20.000 karyawan.
"Malaysia Airlines memiliki masalah struktural yang besar selama bertahun-tahun,” ujar Shakeel Adam, Managing Partner Aviado Partners, perusahaan konsultan pemula berbasis di Frankfurt yang khusus menangani restrukturasi di maskapai penerbangan. Lanjutnya, pada permasalahan terdahulu ketahanan terhadap pengurangan tenaga kerja juga menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya operasi. Bahkan staff Malaysia Airlines pun mengakui bahwa restrukturasi kali ini adalah kesempatan terakhir untuk mempertahankan maskapai tersebut.