TIKTOK, SOCIO-COMMERCE, DAN UMKM

Langkah strategis TikTok melalui Project S TikTok Shop yang merambah pasar global, khususnya di Asia Tenggara, mendapat sorotan tajam dari Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki. Teten juga menyebut TikTok sebagai socio-commerce. Apa itu?  Di tengah dominasi produk asing, UMKM Indonesia berada dalam bahaya yang mengancam eksistensinya.

Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UKM, mengajak Menteri Perdagangan untuk memodifikasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50/2020 guna melindungi UMKM dalam menyikapi munculnya Project S TikTok Shop. Dia menegaskan perlunya revisi peraturan tersebut demi menciptakan lingkungan e-commerce yang adil bagi UMKM.

Project S TikTok Shop pertama kali diperkenalkan di Inggris dan sudah tersebar di berbagai negara. Platform ini diduga digunakan oleh perusahaan untuk mengumpulkan data tentang produk yang populer di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China. Situasi ini dapat merugikan UMKM karena barang-barang dari China biasanya dijual dengan harga yang lebih murah.

TikTok sendiri awalnya memperkenalkan Project S sebagai platform untuk pelaku bisnis online. TikTok Shop beroperasi sebagai platform penjualan online yang memungkinkan penjual untuk mempromosikan dan menjual produk mereka. Sementara itu, Project S mirip dengan Amazon Basics, di mana perusahaan menjual barang dagangannya sendiri.

Melalui proyek ini, TikTok akan menggunakan pengetahuan yang luas tentang produk-produk viral di seluruh dunia untuk membuat atau mendapatkan barang-barang tersebut untuk dijual. Di Asia Tenggara, TikTok Shop telah sukses dan menjadi pesaing bagi pemain e-commerce seperti Shopee dan Lazada.

CEO TikTok, Shou Zi Chew, baru-baru ini mengumumkan bahwa perusahaan akan menginvestasikan miliaran dollar AS di Asia Tenggara, termasuk sekitar 12,2 juta dollar AS selama tiga tahun ke depan untuk mendukung 120.000 bisnis regional secara online. Dengan Project S, TikTok berharap menjadi "toko serba ada" untuk konversi, penjualan, dan citra merek.

Namun, penghentian perluasan TikTok Shop ke pasar seperti Eropa dan AS, tempat Shein dan Temu berkembang pesat, menandakan bahwa strategi perusahaan sedang berubah. Sebaliknya, Project S telah menjalani uji coba di Inggris.

Teten Masduki melihat kondisi ini sebagai ancaman bagi UMKM. Ia menegaskan bahwa regulasi seperti revisi Permendag Nomor 50/2020 harus disiapkan untuk menghadapi ancaman ini. Lebih lanjut, ia mencatat bahwa lambatnya penerbitan revisi aturan tersebut telah mempengaruhi bisnis UMKM yang terdampak oleh kebijakan PPMSE.

Menurut Teten, TikTok saat ini didefinisikan sebagai socio-commerce dan bukan hanya sebagai media sosial. Dia menilai bahwa revisi Permendag 50 akan menjadi langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa aturan lebih detail tentang pengaturan white labelling perlu dibuat untuk melindungi UMKM di Indonesia.

Selain itu, kebijakan tersebut juga bisa digunakan untuk membatasi jumlah produk impor yang masuk ke pasar digital Indonesia. Teten menambahkan bahwa banyak produk asing yang dijual di TikTok Shop dan e-commerce lainnya sebenarnya sudah diproduksi oleh industri dalam negeri, sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor produk tersebut.

Menurutnya, "Kita bukan ingin menutup pasar Indonesia untuk produk asing. Tapi, kita ingin produk asing atau impor mengikuti aturan main yang sama dengan produk dalam negeri dan UMKM,".

Socio-commerce, atau social commerce, menggabungkan unsur e-commerce dan media sosial untuk menciptakan lingkungan belanja yang lebih interaktif dan personal. Praktik ini memanfaatkan kekuatan jaringan sosial atau platform media sosial untuk memfasilitasi berbagai interaksi dan berbagi konten terkait pembelian produk atau jasa.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)