Ketika Program PR Dituntut Lebih Relevan dan Strategis (2)

Untuk dapat membangun program-program Public Relations yang relevan dengan visi, misi, budaya, dan target perusahaan, para pengambil keputusan—baik di level Board of Director maupun di tim PR, harus mampu menerjemahkan rencana bisnis, rencana strategis, rencana jangka panjang, serta rencana kerja dan anggaran perusahaan, menjadi tujuan-tujuan PR.

Penulis: Dwi Wulandari/Peliput: Nurur R. Bintari, Shofa Tartila, W. Setiawan, Fahmi Abidin, dan Marina Silalahi

Saat ini, PR harus sanggup menyelaraskan antara kepentingan jangka pendek (tactical) dengan kepentingan jangka panjang (strategic), termasuk mengedukasi kolega dan pimpinannya. Itu artinyua, peran pejabat PR adalah membangun hubungan yang baik dengan para pemangku kepentingannya (stakeholders) agar tercipta kondisi lingkungan yang positif dan mendukung pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan. Demikian uraian Bambang Sumaryanto, Dosen Universitas Indonesia dan LSPR-Jakarta yang selama puluhan tahun berkarir sebagai Direktur Komunikasi di multi national company.

Jika praktisi PR tak mampu menjalankan tantangan baru tersebut, katanya, maka program PR yang dihasilkan hanya akan fokus pada tujuan program atau kegiatan PR itu sendiri. Bambang mencontohkan, pada saat tren selfie, boleh jadi kegiatan yang dirancang memang sukses memanfaatkan trend tersebut untuk melakukan engagement dengan target audiences-nya. Namun, isi pesannya tak disesuaikan dalam upaya membangun pembentukan image atau reputasi perusahaan. Buntutnya, program PR yang dijalankan menjadi kegiatan yang berdiri masing-masing. Bahkan, kadangkala tak dilakukan secara terpadu (integrated) dengan kegiatan komunikasi lainnya seperti advertising, CSR, ataupun employee communications.

Prita Kemal Gani Prita Kemal Gani

Ketua Perhumas Prita E. Gani mengatakan program PR tidak akan bernilai jika tidak memiliki relevansi dengan perusahaan. “Kalau tidak relevan akan menjadi bahaya sekali, karena akan menghabiskan budget dan menghabiskan energi. Oleh karena itu, ada baiknya melakukan riset terlebih dahulu, sebelum program PR dirancang,” anjurnya.

Masih menurut Prita, tren PR yang kini tengah terjadi di Indonesia terlihat lebih impulsif. Ia mencontohkan, saat tren beasiswa tengah terjadi, maka hampri semua perusahaan menggelar program beasiswa. Begitu juga ketika tren kesehatan dan kesenian sedang happening, maka banyak perusahaan berbondong-bondong mengambil tema kesehatan dan kesenian sebagai program PR-nya.

Prita tak melarang jika perusahaan memutuskan mengikuti tren dalam merancang program PR. Dengan catatan, program tersebut dirancang secara konsisten dan berjangka panjang. “Contohnya, Djarum Foundation melalui Djarum Bakti Budaya, yang selama puluhan tahun konsisten menggelar program kesenian. Hasilnya, bicara soal kesenian, maka masyarakat selalu ingat dengan Djarum Foundation,” Prita menguraikan.

Pada dasarnya, menurut Prita, semua progam PR harus menganut rumus “Six Point Planning PR Models” agar tetap terjaga pada koridornya dan memiliki relevansi yang kuat dengan tujuan brand/corporate. Baik itu untuk program kecil dengan jangka waktu yang pendek, program menengah, maupun program jangka panjang. Rumus ini paling mudah dipelajari dan bisa dipakai oleh semua orang yang berkepentingan dengan PR.

Keenam step tersebut adalah, pertama, analisis situasi saat ini, untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat tentang brand kita, perusahaan kita atau organisasi kita. Kedua, untuk bisa melakukan analisis itu harus dilakukan riset terlebih dahulu. Riset ini bisa dimulai dari pandangan masyarakat, baik dari customer, neighbour, employee, media, tokoh masyarakat serta stakeholders. Mereka harus diminta pendapatnya untuk melihat situasi organisasi kita saat ini, karena segala sesuatu perlu adjusment. Ketiga, setelah dilakukan riset dan analisa, baru pikirkan objektifnya, apa tujuannya, seperti apa yang kita inginkan. Keempat, pertimbangkan media of communication-nya—bukan media dalam arti sesungguhnya, melainkan kegiatan apa yang bisa menjadi kendaraan untuk mewujudkan program kita, apakah melalui pameran, roadshow, komunitas, pendekatan media visit, atau corporate advertising yang menceritakan organisasi kita. Untuk itu tentu saja kita harus menghitung budget yang harus kita sediakan. Kelima, implementasi. Dan keenam, cek lagi dan evaluasi program. Kalau tidak sesuai dengan harapan, kita teliti lagi apa yang bisa dilakukan. Dengan enam point PR model tersebut, program PR akan senantiasa relevan.

Sementara itu, Bambang Sumaryanto menekankan kembali pentingnya membangun relevansi antara kegiatan PR dengan kebutuhan perusahaan, lantaran akan tercipta sinergi komunikasi melalui proses komunikasi yang terpadu (integrated communication) dengan mengarah ke satu tujuan. “Dengan demikian akan diperoleh efektivitas biaya dalam memenuhi kebutuhan perusahaan maupun para stakeholder-nya,” tambah Bambang.

Diakui Bambang, salah satu tantangan dalam menggelar kegiatan PR yang mengacu pada kebutuhan perusahaan adalah kemungkinan hasil yang tak langsung dinikmati dalam jangka pendek. Dalam merancang kegiatan CSR, misalnya, menurut Bambang, perusahaan tak perlu ikut-ikutan mengadaptasi tren CSR Lingkungan Hidup bilamana kegiatan itu tak relevan dengan kebutuhan perusahaan.

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)