Bagi mayoritas organisasi, krisis yang melibatkan pelanggaran manager atau yang biasa disebut sebagai skandal merupakan sesuatu yang bermasalah. Dilihat dari sudut pandang management, skandal adalah tipe krisis yang paling buruk karena mampu memberikan dampak yang paling buruk terhadap aset yang penting dalam sebuah organisasi, seperti reputasi dan harga saham.
Skandal merupakan hal yang sangat merusak reputasi organisasi karena melibatkan orang-orang yang di dalamnya sehingga merekalah yang mesti bertanggung jawab terhadap krisis. Upaya melakukan crisis communication adalah adalah hal yang paling penting dalam memulihkan reputasi organisasi. Ketika skandal sudah terjadi, manager wajib bertindak secara tepat dan meminta maaf atas tindakan yang tidak pantas sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan buruk yang ditimbulkan akibat krisis.
Jika skandal mengindikasikan bahwa masalah yang terjadi adalah bagian dari struktur organisasi, tindakan yang tepat dalam menanganinya adalah menghapus top management dan membuat kebijakan dan prosedur baru untuk mencegah masalah yang sama terjadi lagi – karena sistem butuh perubahan.
Pada Mei 2015 silam, FIFA kembali terguncang akibat skandal penyuapan. Kali ini, 14 pejabat ditangkap atas tuduhan pemerasan, pemalsuan panggilan atau komunikasi lain, dan money laundry. Tindakan yang diambil Sepp Blatter, Presiden FIFA, kala itu hanyalah mengeluarkan sedikit pernyataan.
Anehnya, Blatter justru kembali terpilih sebagai Presiden FIFA tak lama setelah skandal itu terjadi. Pada saat yang sama, banyak anggota FIFA meminta Blatter untuk mengundurkan diri. Mereka tidak ingin pemerintahan buruk Blatter berlangsung kembali selama empat tahun ke depan. Akhirnya, Blatter pun mengundurkan diri pada 2 Juni 2015. Apakah pengunduran diri sang pemimpin ini berpengaruh terhadap krisis?
Jawabannya adalah ya, karena skandal yang terjadi mencerminkan masalah sistemik yang berhubungan dengan organisasi. Jika masalah yang timbul berhubungan dengan sistem, kepemimpinan baru diperlukan untuk mendemonstrasikan cara-cara lama akan diubah dan akan terjadi reformasi dalam organisasi. Pengunduran diri ini memiliki nilai simbolis dan praktis. Secara simbolis, FIFA menunjukkan komitmen untuk berubah.
Dalam surat pengunduran dirinya, Blatter menulis: “Selama bertahun-tahun, kami bekerja keras untuk mereformasikan hal-hal yang bersifat administratif. Bagi saya reformasi ini harus tetap berlanjut, namun reformasi adminstratif saja tidak cukup. Kita perlu mengubah hingga ke struktur,”.
Secara praktis, tindakan FIFA sudah tepat, yaitu menghapus kepemimpinan yang berpotensi menyebabkan masalah bertambah buruk dan menyebar luas. Namun mengapa pengunduran diri yang paling ditunggu ini lama terjadi? Jawabannya adalah kurangnya akuntabilitas.
Akankah media masih membayar jutaan dolar untuk kontrak televisi dengan FIFA? Tentu masih. Akankah negara-negara tetap berusaha keras untuk menjadi tuan rumah penyelanggaraan World Cup? Tentu masih. Tidak ada akuntabilitas yang berlaku bagi FIFA walaupun organisasi tersebut bertindak tidak pantas. FIFA memiliki produk yang permintaannya masif sehingga tidak ada satu skandal pun yang bisa melemahkan organisasi ini. FIFA tampaknya kebal dari tekanan opini publik dan pengawasan media. Blatter bisa saja memilih untuk tidak mengundurkan diri dan membuat reputasi semakin buruk.
Ada dua agent of change yang bisa mengubah FIFA. Mereka adalah para sponsor dan anggotanya. Perusahaan yang menghabiskan jutaan dolar untuk link brand mereka dengan brand FIFA memiliki kekuatan ekonomi/financial pressure untuk menekan FIFA agar berubah.
Setelah penangkapan pejabat yang terlibat, VISA – yang merupakan salah satu top tier sponsor FIFA – memberi pernyataan terkait skandal: “Kami kecewa terhadap FIFA. Kami turut menaruh perhatian yang mendalam terhadap perkembangan krisis. Sebagai sponsor, kami FIFA mengambil langkah cepat untuk segera menangani masalah dalam organisasi. Untuk memulainya, FIFA harus membangun kembali kultur yang memiliki etika praktek yang kuat sebagai upaya untuk mengembalikan reputasi pertandingan untuk para penggemarnya di seluruh dunia.”
Bagaimana dengan sponsor lain? Adidas dan Coca-Cola turut menyatakan keprihatinannya, sementara sponsor lain memperlihatkan rasa tidak senang dengan skandal tersebut, sebab krisis yang terjadi beresiko mencemari reputasi para sponsor. Memang benar, ada hasil riset marketing menunjukkan bahwa krisis suatu organisasi bisa berdampak pada sponsornya.
Namun ada hal yang perlu dipikirkan bagi sponsor saat ingin memberikan financial pressure kepada FIFA. Jika sponsor tidak melakukan upaya untuk menarik dukungan dari FIFA pun, organisasi ini masih ada harapan untuk berubah. Selain itu, jika FIFA bisa mendatangkan sponsor lain untuk mengganti tempat mereka, maka financial pressure terhadap FIFA akan gagal. Jika krisis tidak menimbulkan kerusakan yang real pada suatu organisasi, tidak ada yang menggerakkan manajemen untuk melakukan upaya crisis communication. Pengunduran diri pastinya membuat rasa lega bagi sponsor. Meskipun Blatter terpilih kembali, tidak semua anggota mendukungnya.
44 dari 54 asosiasi sepak bola nasional yang tergabung dalam UEFA (Asosiasi Sepak Bola Uni Eropa/ The Union of European Football Associations) secara terbuka menentang terpilihnya kembali Blatter. UEFA terus menentang Blatter setelah ia terpilih kembali, dengan mengancam akan mengadakan turnamen besar yang tidak melibatkan FIFA. Meskipun suara minoritas, oposisi UEFA – kelompok yang kuat dan memiliki hak – menunjukkan betapa anggota FIFA pun tidak senang dengan terpilihnya kembali Blatter dan ingin ia mengundurkan diri. Pada akhirnya, mungkin, ada tekanan kuat dari para stakeholders sehingga mendorong FIFA untuk bertanggung jawab dan memilih hal yang tepat dalam upaya crisis communication.