LSM, Local Partner di Setiap Kegiatan CSR Unilever
Penulis: Dwi Wulandari
Bisnis yang dijalankan Unilever Indonesia bukanlah semata functional benefit. Melainkan, Corporate Social Responsibility (CSR) harus menjadi bagian penting dalam setiap kegiatan bisnis Unilever dari hulu hingga hilir. Artinya, keduanya bukanlah bagian yang terpisahkan.
Diakui General Manager Yayasan Unilever Indonesia Sinta Kaniawati, stakeholder utama Unilever adalah consumer, customer, dan community. Sebab, Unilever ingin membangun loyalitas dan trust. Namun, bukan berarti Unilever meniadakan stakeholder yang lain. "Masih ada stakeholder seperti karyawan, investor, akademisi, pemerintah, Lembaga Swadaya Msayarakat (LSM), hingga industri lainnya, yang juga sama pentingnya dalam mensukseskan program CSR," katanya.
Melalui program Green and Clean, saat ini ada lebih dari 100 Bank Sampah yang tersebar di 10 kota. Sekitar 25 Bank Sampah yang ada di Jakarta dibangun masyarakat bekerjasama dengan Yayasan Unilever Indonesia.
Sinta juga percaya bahwa Unilever bukanlah perusahaan yang expert untuk mengeksekusi program-program CSR secara sendirian. Apalagi, Unilever memiliki keterbatasan dalam hal SDM yang mengeksekusinya. "Untuk mengetahui karakteristik sekaligus kebutuhan masyarakat di daerah, justru LSM lokal-lah yang lebih paham. Oleh karena itu, kami selalu menggandeng local partner, LSM lokal, yang memiliki kesamaan value, mimpi, dan idealisme, dalam seluruh kegiatan CSR Unilever," terangnya.
Biasanya, Unilever akan meminta LSM lokal untuk mendesain program kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Selanjutnya, program dirancang bersama Unilever untuk kemudian dieksekusi bersama LSM, akademisi, hingga pemerintah setempat.
Dipaparkan Sinta, ada empat tahap yang harus dilalui dalam merancang isu-isu program CSR. Pertama, program harus relevan, baik terhadap bisnis maupun kebutuhan masyarakat. Kedua, membuat model dengan pola kemitraan. Alias, aktor utama di CSR adalah masyarakat dan aktor pendukungnya adalah Unilever, LSM, pemerintah, dan media--untuk mengangkat cerita-cerita yang inspiratif.
Ketiga, membangun partnership, karena Unilever tidak bisa bekerja sendirian. Keempat adalah replikasi. Artinya, setiap kegiatan CSR harus mampu direplikasi di daerah-daerah lainnya.
Sinta memberi contoh program CSR "Green and Clean" yang pertama kali digelar di Surabaya pada tahun 2001 silam. Ditambahkan Silvi Tirawaty, Environment Program Manager PT Unilever Indonesia, "Melalui program tersebut, kami ingin menciptakan kesadaran masyarakat tentang manfaat pengelolaan sampah. Program ini terus berkembang sehingga menjadi program pengumpulan dan pengelolaan sampah, yakni Program Bank Sampah, yang sudah dimulai sejak 2006."
Tepat di tahun 2010, Unilever melahirkan Koperasi Bank Sampah. Lewat Bank Sampah, Unilever mengumpulkan sampah laku jual dari nasabah (masyarakat). Kemudian, jumlahnya akan dicatatkan dan dikonversikan ke dalam rupiah, yang dalam kurun waktu tertentu bisa dicairkan. Sampahnya sendiri, akan Unilever jual kembali. "Pengurus Bank Sampah adalah masyarakat setempat, sedangkan LSM kami gandeng untuk pendampingan dan pelatihan," lanjut Silvi.
Istimewanya, masih dalam Gerakan "Green and Clean", Unilever juga punya program "Trashion" yang melibatkan kader-kader program Green and Clean untuk melakukan pemilahan sampah, untuk kemudian dimanfaatkan kembali menjadi aneka barang kerajinan cantik dan trendi yang bernilai ekonomis.
Program CSR Unilever lainnya yang tak kalah sukses di masyarakat adalah "Gerakan Cuci Tangan dan Gosok Gigi" yang juga melibatkan karyawan sebagai sukarelawan, "Pemberdayaan Petani Kedelai Hitam dan Gula Kelapa", "Kampanye AIDS", dan sebagainya.