Pelajaran ke 2 dari AirAsia: Level of Crisis Communication Responsibility

sunu widyatmoko

Dalam beberapa hari terakhir, paska penemuan puing dan korban musibah pesawat AirAsia, pembicaraan berkembang – selain tetap pada korban dan pencarian korban -- ke persoalan pembekuan izin terbang AirAsia jalur Surabaya-Singapura, briefing pilot sebelum terbang, dan masalah masalah lain terkait penerbangan pesawat AirAsia.
Pergeseran fenomena juga terjadi di internal AirAsia. Penelusuran melalui Topsy.com memberikan gambaran, Sunu Widyatmoko, Presiden Direktur AirAsia Indonesia, yang sebelumnya tidak banyak muncl di media, mendadak menjadi sering muncul di media. Bila dalam 30 hari terakhir, Sunu muncul di media sebanyak 531 kali atau rata-rata sekitar 18 kali sehari – tiba-tiba muncul di media sebanyak 160 kali.
Sementara itu CEO AirAsia Tony Fernandes masih tetap kerap muncul di media, meski mungkin frekuensinya berkurang. Dalam sehari terakhir, Tony Fernandes muncul 632 kali sementara pada dua hari terakhir sebelum kemarin, Tony muncul di media lebih dari 12 ribu kali sehari. Yang dimaksud media disini, selain media konvensional juga media sosial, internet dan sebagainya.
Fokus pembicaraan diantara keduanya juga berbeda. Bila Tony lebih banyak berbicara tentang musibah pesawat QZ8501. Pesan-pesan yang disampaikan Tony konsisten menunjukkan simpati, empati dan komitmen bauk secara pribadi maupun AirAsia. Terakhir Tony diberitakan ikut mengantar jenazah salah satu pramugari AirAsia yang menjadi korban, Khairunnisa Haidar Fauzi, ke Palembang.
Sementara itu, Sunu lebih banyak memberikan keterangan soal laporan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dikabarkan telat diambil oleh AirAsia. Juga soal pembekuan rute penerbangan AirAsia Surabaya-Singapura yang berlaku sejak kemarin, Jumat, 2 Januari 2015.
Sebelumnya, Dirjen Perhubungan Kementerian Perhubungan, JA Barata membekukan rute penerbangan melalui surat Dirjen Perhubungan Udara No. AU. 088/1/1/DRJU-SAU-2015 tertanggal 2 Januari 2015.
Penerbitan surat ini menyusul dugaan adanya pelanggaran atas persetujuan rute yang sudah diberikan Dirjen Perhubungan Udara. AirAsia mengantongi izin melakukan penerbangan rute Surabaya-Singapura hanya pada hari Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu.
Namun, pada Minggu (28/12/2014) Maskapai AirAsia kedapatan melakukan penerbangan yang mengakibatkan pesawat QZ8501 mengalami kecelakaan. PT AirAsia diketahui tak pernah melapor pada otoritas terkait saat melakukan penerbangan pada hari nahas tersebut.
Seperti diketahui pada dasarnya krisis merupakan situasi ketidakpastian dan pihak yang terdampak krisis tersebut berjuang untuk mendapatkan kembali control atas situasi tersebut (Millar dan Heath, 2004, hal. 247).
Ketika krisis menimpa sebuah perusahaan, perusahaan tersebut melakukan upaya meminimalkan dampaknya dengan menanggapi krisis dan masyarakat melalui strategi respons yang tepat. Pada saat yang sama, masyarakat mencoba untuk mencari informasi yang berkaitan dengan krisis dan mengevaluasi tanggung jawab dari krisis tersebut.
Dalam literatur, Coombs dan Holladay (1996, 2004) mengembangkan Teori yang disebut sebagai Teori Krisis Komunikasi Situasional (Situational Crisis Communication Theory - SCCT) dengan menghubungkan teori atribusi dan analisis restorasi citra analisis. Atribusi adalah bagaimana individu mempersepsikan sumber krisis. Atribusi menciptakan makna untuk menjustifikasi perilaku-perilaku tertentu yang mempengaruhi reputasi perusahaan.
Atribusi ini dapat dkatakan sebagai produk strategi framing (bagaimana fenomena atau informasi diseleksi, ditekankan, dan dipresentasikan). Dengan asumsi bahwa jenis krisis yang berbeda menghasilkan atribusi tanggung jawab krisis yang berbeda (Coombs, 2006b), SCCT membagi strategi respon terhadap krisis berdasarkan jenis dan atribusi tanggung jawab krisis tersesut.
Asumsi ini memang mengabaikan pengaruh media massa terhadap persepsi masyarakat tentang tanggung jawab krisis dan strategi respon krisis. Padahal, beberapa penelitian menunjukkan bahwa framing yang dilakukan media framing tentang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang masalah tanggung jawab krisis.
Dalam setiap krisis, pertama, teori konstruksi sosial memandang bahwa individu-individu secara aktif terlibat dalam dialog-dialog public. Setiap krisis akan memunculan atribusi, yaitu masyarakat akan berusaha untuk mencari tahu dan menetapkan penanggung jawab krisis (Coombs, 2006a). Di dalam dialog tersebut media massa biasanya menjadi fasilitator dan juga investigator, sedangkan organisasi biasanya menjadi pihak yang lebih banyak bertahan.
Kedua, krisis sebagai sebuah realitas sosial dipandang sebagai bagian dari norma daur kehidupan organisasi. Jika proses interaksi antara organisasi dan publiknya mengalami gangguan (misalnya karena kekurang terbukaan organisasi) maka peluang terjadinya krisis semakin besar.
Dalam konteks isu yang berkembang belakangan tentang AirAsia yang muncul tentang anggapan pelanggaran jadwal terbang dan sebagainya, bila tidak segera ditangani bisa berpeluang menghancurkan reputasi AirAsia. Karenanya berdasarkan teori konstruksi sosial, manajemen komunikasi yang dapat membangun relasi publik sangat diperlukan agar tidak menimbulkan krisis.
Dalam kaitannya dengan penanganannya, Coombs dan Holladay (1996, 2004) menyarankan agar pada setiap krisis yang berbeda, respon dilakukan dengan cara berbeda berdasarkan tingkat tanggung jawab krisis. Dengan kata lain, begitu atribusi krisis terhadap tanggung jawab krisis meningkat, manajer krisis harus menggunakan strategi respon krisis yang lebih luas.
Dalam kaitannya dengan isu yang berkembang berkembang, AirAsia memberikan pelajaran kedua tentang komunikasi krisis. Disini AirAsia membagi peran seseorag sebagai komunikator, Tony bertanggung operasi AirAsia secara global berbicara tentang hal-hal terkait dengan simpati, empati dan komitmen; sementara itu Sunu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap operasi AirAsia di Indonesia.
Dengan memunculkan Sunu dalam merespon isu yang berkembang, maka AirAsia berharap dapat melokalisasi permasalahan, dalam hal ini pemasalahan hanya ada di Indonesia. Dengan demikian, atribut tanggung jawab krisis yang muncul adalah bahwa peristiwa – dalam hal ini adalah persoalan pembekuan izin terbang – adalah persoalan lokal Indonesia, tidak di negara lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)