Good Corporate Governance (GCG) sejatinya tak hanya mampu melancarkan bisnis perusahaan. Saat perusahaan dilanda krisis, GCG juga menjadi salah satu kunci agar perusahaan dapat melewati krisis dengan baik.
Febriati Nadira, Praktisi PR yang pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Litbang Perhumas periode 2011-2014, meyakini bahwa penerapan GCG akan sangat bermanfaat saat perusahaan tengah menghadapi berbagai situasi krisis yang terkait dengan regulasi, kebijakan, serta kepatuhan yang berhubungan dengan praktik bisnis perusahaan.
“Itu sebabnya, menjadi sebuah keharusan bagi perusahaan dengan selalu mematuhi regulasi yang berlaku di industri yang digelutinya (secara khusus) serta peraturan yang berlaku di Indonesia (secara umum),” saran Nadira, yang akrab disapa Ira.
Selain itu, menurut Ira, perusahaan diharapkan juga memiliki strategic crisis management planning agar dapat mengelola komunikasi kepada publik dan seluruh stakeholders dengan tepat dan akurat. “Dengan demikian maka perusahaan akan dapat melewati krisis dengan baik, sekaligus dapat tetap menjaga dan mempertahankan reputasinya,” jelasnya.
Dalam menghadapi kasus yang berhubungan dengan regulasi, hukum, dan menyangkut kepentingan masyarakat luas, seperti yang dialami AirAsia, menurut Ira, setiap spokesperson perlu bersikap bijak dan berhati-hati dalam memberikan informasi kepada publik. “Karena itu, informasi normatif yang menekankan komitmen dan kepatuhan perusahaan terhadap proses yang sedang berjalan dapat menjadi opsi terbaik dalam berkomunikasi kepada publik. Langkah seperti itu dapat bersifat sebagai damage control dan diharapkan dapat tetap menjaga reputasi perusahaan,” ungkap Ira.
Untuk menghadapi krisis yang terkait dengan regulasi atau perizinan, maka Ira menganjurkan agar AirAsia melakukan evaluasi terhadap penerapan GCG atas praktik bisnis yang berjalan hingga saat ini. Termasuk, secara proaktif berkoordinasi dengan pengambil kebijakan/regulator dan pihak terkait lainnya, agar dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sekaligus menyiapkan langkah-langkah perbaikan jika memang diperlukan.
“Secara paralel, perusahaan juga perlu menyiapkan holding statement yang menekankan pada komitmen untuk mendukung kepatuhan perusahaan terhadap aturan-aturan yang berlaku. Tujuannya, tentu saja agar perusahaan dan industri secara luas dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat,” ungkapnya.
Peran PR Menjadi Lebih Critical dan Strategic
Public Relations (PR) menjadi sosok yang seharusnya berperan aktif dalam mengelola krisis. Terutama, dalam mengelola komunikasi krisis. Menurut Ira, secara umum, media dan wartawan memiliki karakter yang berbeda-beda di berbagai negara. “Media di Indonesia memiliki karakter yang lebih informal kepada narasumber. Sehingga, metode pendekatan yang lebih tepat dilakukan adalah dengan pendekatan informal,” ia menyarankan.
Karena itu, seorang Public Relations (PR) dalam sebuah organisasi/perusahaan perlu menempatkan dirinya sebagai partner bagi wartawan, sehingga dapat lebih mudah memberikan informasi dan menyampaikan pesan yang memuat perspektif perusahaan kepada publik. Sebaliknya perusahaan, secara professional, juga bisa mendapatkan informasi-informasi penting yang dibutuhkan melalui kedekatan yang dimiliki dengan media.
“Dalam menghadapi tantangan dari kasus yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, khususnya musibah yang menyangkut jiwa manusia seperti krisis AirAsia, seorang praktisi PR dalam sebuah organisasi atau perusahaan harus dapat menjadi jembatan yang baik bagi perusahaan dengan publik, serta seluruh stakeholders. Praktisi PR harus selalu responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan informasi dengan memberikan informasi yang tepat dan akurat kepada media,” ucap Ira.
Saat ini, peran PR di industri yang penuh dengan dinamika menjadi lebih critical dan strategic. Ira menuturkan, persaingan yang ketat membutuhkan strategi komunikasi yang cocok dengan niche market yang dituju. “PR bisa ikut shaping business strategy melalui komunikasi kepada stakeholders yang tepat. Untuk dapat menjalankan peran ini, praktisi PR dituntut menjadi reliable activist, change movement, dan technology proponent,” ia menerangkan.
Sebagai reliable activist, ditambahkan Ira, PR dituntut untuk lebih proaktif. Lantaran, bisnis menjadi lebih kompetitif. PR juga dituntut untuk responsif dalam melayani berbagai kebutuhan atas informasi dengan tepat waktu dan news-worthy. Itu sebabnya, PR perlu melengkapi diri dengan data dan news-valued content serta dapat dihubungi selama hampir 24 jam dan 7 hari.
Sementara itu, sebagai change movement, seorang praktisi PR harus dapat mengetahui dan memahami kebutuhan seluruh stakeholders—baik internal maupun eksternal—serta menerjemahkannya ke dalam tactical strategy. Termasuk, menjadi tim kreatif yang menginisiasi ide dan memimpin berbagai aktivitas yang dapat mendorong perusahaan untuk lebih maju.
Terakhir, untuk dapat menjadi technology proponent, diimbuhkan Ira, “Seorang PR harus dapat hadir dalam berbagai platform yang berbeda guna bisa melayani kebutuhan yang berbeda-beda. Termasuk, melibatkan masyarakat digital dengan program komunikasi yang sesuai, dan tetap mengikuti tren dan isu-isu terkini agar dapat menjaga dan mempertahankan reputasi perusahaan.”
Tips Melakukan Komunikasi Krisis:
· Menunjukkan kehadiran perusahaan kepada masyarakat, khususnya para korban
· Terus berkoordinasi dengan pemerintah, regulator, serta pihak-pihak lain yang berkaitan dengan krisis yang dialami
· Responsif dan membekali media dengan informasi yang relevan, up to date, dan menekankan pada komitmen perusahaan
· Terus memantau perkembangan isu yang muncul di kalangan media sehingga dapat mengantisipasi terjadinya krisis turunan
· Jangan pernah menghindari media, karena dapat dipersepsikan negatif sebagai perusahaan yang menghindar dari tanggung jawab