“Apalagi, kecaman dilakukan secara konstan oleh aktivis media sosial dan pemerhati media yang memiliki followers yang besar juga. Hal itu akan secara bertahap akan menggerus tingkat kepercayaan public secara lebih luas atas akurasi dan kredibilitas kedua stasiun televisi tersebut. Sebab, masyarakat kita semakin ‘cerdas’ dalam memilih channel-channel televisi yang mendidik dan mencerdaskan,” tandas Troy, yang pernah bekerja di stasiun televisi SCTV selama delapan tahun sebagai penyiar, reporter, dan produser Eksekutif.
Dengan manajemen televisi modern seperti saat ini, menurut Troy, seharusnya mereka memiliki divisi riset dan evaluasi serta dewan penilai tayangan program-program mereka. Termasuk, mendiskusikan masukan-masukan dari masyarakat. Namun, apakah hal tersebut dijalankan secara sungguh-sungguh atau banyak tekanan internal—termasuk konflik internal di dalamnya—tentunya kedua stasiun TV tersebut yang lebih paham dan mampu secara "legawa" melakukan instropeksi diri apabila channel mereka masih ingin ditonton oleh publik.
Oleh karena itu, langkah recovery sudah seharusnya dilakukan media untuk memperbaiki citra medianya di hadapan publik. Diyakini Troy, sejatinya kunci keberhasilan stasiun TV berita adalah konsistensi menjalankan visi dan misinya; menyajikan tayangan yang unik, berkualitas, dan disukai penonton; tayangan yang membumi dan "pro-publik"; serta mampu menghadirkan tayangan dan informasi secara cepat, akurat, kredibel, menyentuh hati, membuka wawasan pikir, dan tayangan yang sehat.
“Selanjutnya, media harus senantiasa secara terjadwal melakukan kegiatan ‘off air’ yang mendekatkan diri kepada audiens dan pemangku kepentingan terkait. Termasuk, melakukan evaluasi rutin baik dari pihak internal dan eksternal,” ungkap Troy, yang juga pernah bekerja di rumah produksi, TV satelit, dan TV kabel di bidang Komunikasi Pemasaran.
Troy pun menyayangkan, evaluasi eksternal seringkali terjebak dengan penilaian atas dasar "rating" yang dilakukan oleh satu-satunya lembaga rating yang masih menjadi pedoman, yaitu AC Nielsen, yang sudah lama diperdebatkan akurasi dan independensinya.
“Untuk itu, riset dan evaluasi terus-menerus secara jujur harus dilakukan oleh stasiun TV tersebut. Dengan demikian, bilamana persepsi publik turun dan citra suatu stasiun TV anjlok lantaran kesalahan etika dalam tayangan, maka stasiun TV tersebut harus bersedia terbuka meminta maaf secara terbuka dan segera mengundang publik dan pemangku kepentingan untuk berdialog serta menunjukkan kesungguhannya. Termasuk, merombak jajaran redaksional kuncinya dan mulai mengubah pola dan pendekatan pemberitaannya dengan tayangan-tayangan berita yang sesuai etika,” saran Troy.
Lantas, apakah pertarungan media dengan mempertaruhkan kepercayaan publik seperti yang dilakukan kedua stasiun televisi tersebut sebanding dengan benefit yang dapat diperoleh media dari tayangan tersebut? Troy menjawab, sangat tergantung pada "value" apa yang dimiliki oleh operator, alias pemilik stasiun TV tersebut. Bilamana "value"-nya adalah kendaraan untuk mengeruk keuntungan lewat pundi-pundi pengiklan atau bila stasiun TV itu didirikan sebagai alat untuk tujuan ambisi pribadi dan kepentingan politis tertentu, maka tingkat kepuasannya adalah bila KPI (Key Performance Indicator) yang dimaksud tercapai.
“Namun, bilamana ‘value’ nya adalah demi kepentingan kesehatan mental dan rohani serta mencerdaskan bangsa, maka taruhan nama baik dan keluhuran tujuan adalah taruhannya. Jadi, pada akhirnya ini bukan hanya sekadar debat ‘kepantasan’ dan ‘kepatutan’ etika tayangan televisi. Tapi, pada mengedepankan hati-nurani dan kewajiban moral dari operator, manajemen, dan pemilik stasiun TV. Sebab tayangan, terutama di Indonesia, masih menjadi media dengan peringkat atas dari populasi masyarakat kita. Itu artinya, kita berbicara mengenai generasi anak-anak dan generasi muda sebagai aset masa depan bangsa Indonesia,” papar Troy.
Bahayanya, jika teguran maupun kritik publik dan KPI diabaikan, diingatkan Troy, maka lonceng kematian akan segera berbunyi. “Tinggal tunggu tanggal mainnya saja. Sebab, bilamana KPI tidak digubris, seharusnya KPI bukan hanya mengecam atau mengirim surat teguran, namun juga harus berani memberikan sanksi keras, misalnya menghentikan tayangan tertentu. Yang lebih ‘mengerikan’ justru hukuman publik yang sifatnya akan lebih mematikan,” ia mengingatkan.