Sebagai perusahaan sekaligus produsen minyak sawit, Astra Agro Lestari memiliki tantangan terbesar yang hingga kini masih terus dihadapi. Yakni, stigma negatif yang muncul di benak sejumlah stakeholders—seperti media, NGO atau LSM, hingga masyarakat--tentang dampak yang ditimbulkan dari proses bisnis minyak sawit.
Ada lima stigma negatif yang hingga kini masih dipersepsi sebagai fakta oleh masyarakat dunia. Kelima stigma itu adalah minyak sawit dianggap dapat mengurangi keanekaragaman hayati, mengancam kehidupan masyarakat yang ada di sekitar perkebunan sawit, merusak hutan hujan, penyebab climate change, dan berakibat buruk pada kesehatan namun justru menjadi sangat tinggi konsumsinya di Amerika karena minyak sawit tercatat sebagai minyak goreng termurah di dunia.
Persepsi bahwa minyak sawit berakibat buruk pada lingkungan, dikatakan Head of Public Relations PT Astra Agro Lestari Tbk. Tofan Mahdi, seharusnya tidak seperti itu. “Jika pertumbuhan minyak sawit berkelanjutan, maka produksi minyak sawit dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal. Bahkan, dapat melindungi spesies hutan. Artinya, dengan menggunakan praktik yang berkelanjutan, petani dapat menambahkan pendapatan mereka,” ungkapnya di salah satu sesi acara ASEAN PR Regional Conference (APRC) 2017 di Bali pada September ini (21/9).
Di Indonesia sendiri, diceritakan Tofan, bisnis minyak sawit dimulai sejak tahun 1990-an. Selanjutnya, menjadi skala industri sejak era 2000-an. Industri minyak sawit terus bertumbuh hingga sekarang. Bahkan, ekspor minyak sawit juga terus meningkat. Tak heran, jika industri minyak sawit menjadi lebih besar.
Persepsi negatif akan minyak sawit, diakui Tofan, menjadi Pekerjaan Rumah yang cukup berat bagi perusahaan. Terutama, profesional Public Relations (PR) seperti dirinya dan tim. Dan, untuk mengurangi sekaligus menghapus persepsi negatif tersebut, maka pendekatan PR menjadi strategi yang efektif dibandingkan dengan advertising. “Langkah yang kami lakukan di Astra Agro Lestari adalah mem-PR-kan brand kami dengan men-deliver value yang Astra Agro Lestari miliki,” ucapnya.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa bentuk PR yang dilakukan Astra Agro Lestari adalah merancang story telling yang terbaik. Artinya, PR tidak semata berhubungan dengan media, namun dapat memadukan antara kanal tradisional dengan own media yang dimiliki Astra Agro Lestari. “Kami pun harus mampu berpikir bahwa PR adalah profit center, bukan cost center,” yakinnya.
Pendekatan PR yang dilakukan oleh Astra Agro Lestari guna mengubah persepsi negatif tersebut adalah mencoba memperoleh dukungan dari media lokal dan akademisi lokal dengan cara menghadirkan program yang mampu menciptakan engagement. Selain itu, Astra Agro Lestari juga me-maintain hubungan dengan pemerintah serta mendukung kegiatan dari komunitas atau masyarakat lokal.
Hasilnya? Sepanjang tahun 2016, ada total 1.115 berita yang mempublikasikan isu seputar minyak sawit. Di sepanjang periode itu, terjadi pula perubahan persepsi media tentang minyak sawit. Mayoritas media besar di Indonesia sudah mulai memberitakan minyak sawit dengan tone yang netral dan positif.
Diyakini Tofan, memiliki hubungan baik dengan media massa adalah kunci penting untuk memperkuat brand awareness positif tentang minyak sawit. “Itu artinya, kami tidak berkerja sendiri. Melainkan, kami bekerja bersama seluruh stakeholder untuk menyebarkan informasi tentang apa yang terjadi di industri minyak sawit. Antara lain, mengkomunikasikan bahwa minyak sawit juga bermanfaat untuk masyarakat,” jelasnya.
Langkah lainnya yang juga dilakukan Astra Agro Lestari adalah dengan membuat industri minyak sawit dapat diterima secara global. Antara lain, melakukan diplomasi dengan Persatuan Bangsa Bangsa serta turut aktif di forum bisnis internasional seperti menjadi pembicara. “Secara berkala, saya rutin menjadi pembicara di forum-forum nasional maupun internasional untuk mengubah persepsi negatif serta menginformasikan fakta tentang industri minyak sawit,” tutupnya.
