Sebagai perusahaan penerbangan Low Cost Carrier (LCC), sejak awal AirAsia memang sudah dibayangi persepsi publik yang cenderung negatif, yakni rendahnya biaya penerbangan terkait dengan kualitas atau jaminan faktor keselamatan penerbangan, antara lain soal pemilihan jenis pesawat.
Istimewanya, di bawah komando sang bos besar Tony Fernandes, AirAsia sanggup menghapus stigma public tersebut dengan berbagai terobosan. Ya, selama ini, AirAsia sanggup meyakinkan publik bahwa langkah efesiensi yang sama sekali tak terkait dengan jaminan keselamatan penerbangan sanggup menekan tarif konsumen ketika memilih terbang dengan AirAsia.
Namun, kejadian jatuhnya pesawat AirAsia QZ5801 tentu saja menjadi duka sekaligus ujian bagi AirAsia, di tengah pamornya yang sedang meroket di industri penerbangan. Kecelakaan pesawat memang tak bisa dihindari oleh maskapai penerbangan manapun, termasuk LCC.
Menurut Bambang Sumaryanto, Dosen Komunikasi Universitas Indonesia dan LSPR, kecelakaan pesawat terbang merupakan suatu resiko terbesar yang akan sangat mempengaruhi reputasi perusahaan penerbangan, khususnya LCC.
“Kita masih ingat bagaimana komentar berbeda masyarakat dalam menghadapi kecelakaan Lion Air atau Adam Air dengan kasus kecelakaan pesawat Garuda. Publik akan memiliki persepsi mereka sendiri dan persepsi itu terbentuk berdasarkan informasi yang mereka peroleh, baik dari sumber kompeten maupun dari sumber-sumber tak jelas yang beredar melalui berbagai social media,” tuturnya.
Oleh karena itu, diyakini Bambang perlu adanya penanganan komunikasi krisis di tengah maraknya social media dan “kepo”-nya masyarakat yang seringkali tak melakukan filter atas kredibilitas dan akurasi informasi tersebut.
Lantas, strategi apa yang harus dilakukan agar perusahaan tidak “gagap” krisis?
1. Perlunya Crisis Drill
Berangkat dari karakter masyarakat saat ini, idealnya perusahaan penerbangan seperti AirAsia memiliki rencana manajemen krisis dan tentu saja mereka tidak semata memahami prosesnya. Melainkan, perlu juga secara rutin melakukan “crisis drill”. Crisis Drill atau latihan penangan krisis secara rutin benar-benar sangat diperlukan, agar manajemen dan tim krisis dapat bertindak dengan tenang pada saat sebuah krisis benar-benar terjadi.
“Pendekatan dan cara penanganan krisis seperti itu akan terus di-review guna mencari praktik terbaik sesuai dengan dinamika komunikasi yang. Atau, sering dinamakan Current Best Approach (CBA) yang bisa diperoleh dari berbagai kejadian yang terjadi di industri penerbangan maupun di industri lainnya,” Bambang menjelaskan.
2. Fast Response
Saat krisis terjadi, menurut Bambang, perusahaan yang tengah menghadapi krisis, termasuk AirAsia, harus bereaksi dan bertindak dengan cepat.
3. Understanding Public and Media
Perusahaan yang tengah menghadapi krisis perlu memahami bahwa beda public akan beda minat dan ekspektasi. Bambang mencontohkan, harapan keluarga, harapan pemerintah, harapan media, harapan masyarakat umum, bisa jadi akan berbeda-beda. Selain itu, perusahaan juga harus mampu memahami bagaimana media bekerja, baik media tradisional maupun media baru, termasuk social media.