MIX.co.id - PT Ajinomoto Indonesia kembali menggelar program webinar untuk meningkatkan status gizi serta memperbaiki Perilaku Hidup Bersih & Sehat (PHBS) anak-anak maupun remaja di Indonesia. Program yang digelar pada pertengahan Juni ini (20/6), diikuti oleh 60 perwakilan pondok pesantren di wilayah Jawa Barat. Program ini dihadirkan juga untuk mengimplementasikan School Lunch Program (SLP) ke lebih banyak pesantren.
Pada kesempatan ini, Ajinomoto bersama Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Kementerian Agama RI memberikan sharing informasi dan pengalaman dalam mengimplementasikan pilot project SLP.
Grant Senjaya, Head of Public Relations Dept PT Ajinomoto Indonesia, mengatakan, "Dalam pilot project, kami menetapkan target untuk menurunkan prevalensi status anemia santri di pondok pesantren melalui pemberian makanan bergizi seimbang dan pendidikan gizi. Setelah kami menyediakan menu yang tinggi kandungan zat besi, seperti rendang hati ayam, dan menu sayur yang dimasak dengan mudah serta nikmat menggunakan produk kami, santri mulai makan lebih banyak. Hasilnya, kami mampu mengurangi 8% kejadian anemia di kalangan santri Pondok Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor dan 20,9% di Pondok Pesantren Darussalam Bogor. Berangkat dari kisah sukses ini, kami ingin terus kontribusi untuk mengatasi masalah gizi anak di Indonesia."
Melalui sosialisasi SLP, Ajinomoto ingin lebih banyak lagi pesantren yang melaksanakan program tersebut. Harapannya, pada periode kali ini peserta webinar antusias untuk mendaftarkan pondok pesantrennya.
"Selanjutnya, kami bersama Tim SLP dari Institut Pertanian Bogor (IPB) akan melakukan observasi dan seleksi untuk memilih 12 pondok pesantren yang sekiranya memenuhi semua persyaratan untuk mengimplementasikan SLP di pondok pesantren masing-masing,” imbuhnya.
Menurut Dr. Rimbawan, Dosen di Departemen Gizi Masyarakat IPB sekaligus Ketua Project SLP, buku panduan SLP yang sudah dibuat tidak hanya bermanfaat bagi siswa di pesantren, namun bermanfaat juga bagi tenaga pengajar di pondok pesantren yang menerapkan.
“Bersama Ajinomoto dan Kementerian Agama RI, kami menyusun panduan SLP menjadi tiga buku. Buku pertama berisikan modul edukasi gizi di pesantren yang bermanfaat untuk membekali tenaga pengajar pengetahuan dasar tentang gizi dan kesehatan untuk anak dan remaja. Buku kedua berisikan modul penyediaan makan bergizi seimbang di pesantren. Buku kedua ini bermanfaat bagi pengelola dan tim penyedia makan pesantren. Buku ketiga berisikan kumpulan resep dan pilihan aplikasi menu lezat bergizi seimbang,” papar Dr. Rimbawan.
Lebih jauh ia menjelaskan, sebelumnya program ini memilih 6 pesantren sebagai pilot project. "Di tahun ini, kami akan menggelar sosialisasi program SLP ke lebih banyak pesantren. Berdasarkan pengamatan kami pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengalami banyak kemajuan, namun dalam hal pangan, gizi, dan kesehatan, masih belum mendapatkan perhatian yang proporsional. Pada umumnya siswa mondok di pesantren. Oleh karena itu, kami menilai jika kondisi pangan, gizi, dan kesehatannya baik, akan sangat berdampak pada peningkatan capaian pembelajarannya,” ungkap dr. Rimbawan.
Dalam sesi webinar kali ini, Ajinomoto juga menyampaikan tentang kampanye Bijak Garam yang dipaparkan oleh Darma Suhandi, Product Marketing Manager Horeka Dept PT Ajinomoto Indonesia. “Sejalan dengan kampanye Kementerian Kesehatan RI, mengenai pentingnya diet garam, gula, dan lemak, maka melalui kampanye Bijak Garam yang sedang kami giatkan ini, kami ingin mengedukasi masyarakat tentang pentingnya diet rendah garam dan mengajak keluarga Indonesia untuk hidup lebih sehat dengan mengurangi asupan atau penggunaan garam dalam mengolah makanan," ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, perwakilan dari Kementerian Agama, Dr. H. Basnan Said MAG selaku Kasubdit Pendidikan Ponpes, mengatakan, “Penting bagi kita semua untuk mengonsumsi makanan yang halal dan thoyib. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih atas inisiasi dari pihak Ajinomoto yang memberikan kesempatan kepada santri, sehingga dapat merasakan gizi yang sama dengan anak-anak yang studinya di luar tetapi tinggalnya di rumah. Sebagaimana yang kita tahu, santri sebagian besar berasal dari desa atau kampung dan kalau kita berbicara tentang masalah pemenuhan gizi, mungkin ada yang tidak terpenuhi."