MENATA BIJAK PERAN GANDA PERUSAHAAN

Yang menarik, totalitas dan keseriusan Sharp maupun Telkomsel dalam menempatkan upaya-upaya corporate responsibility sebagai bagian dari kebijakan stratejik perusahaan. CEO memegang kendali penuh, dan bahkan terlibat dalam aktivitasnya. Dikatakan Pandu, CEO SHARP bahkan ikut hadir dalam waktu-waktu tertentu guna bertemu dan berbincang langsung dengan para warga dan fasilitator dari rumah zakat untuk mengetahui kondisi di lapangan dan kendala yang ada. Juga, Dirut Telkomsel, Ririek Adriansyah, menjadikan kampanye “Internet BAIK” sebagai program masterpiece atau penyangga untuk semua program digital kampanye mereka. “Sebelum ada smart city, smart country, harus ada smart people dulu. Jadi, program ini sangat related dengan core business perusahaan,” tegas Rifki.

Agar perusahaan bijak menjalankan peran ganda, menurut Yuswohady, perusahaan harus bisa menemukan titik tengah dari tiga lingkaran. Program CSV harus menjawab tiga kepentingan, antara lain kepentingan bisnis, kepentingan stakeholder/pemerintah, serta kepentingan komunitas/ masyarakat.

CSV bukanlah CSR (corporate social responsibility), “ tegas Yuswohady. Praktek yang umum berlangsung hingga saat ini, CSR diarahkan untuk menciptakan citra dan reputasi perusahaan agar kinclong bersinar. Celakanya, banyak perusahaan-perusahaan yang sesungguhnya tidak kinclong dipoles sedemikian rupa hingga terlihat kinclong. Banyak perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan, merusak kesehatan masyarakat, atau menjadi biang persoalan sosial, menutupinya dengan kedok corporate responsibility, philantrophy, atau sustainability.

Sebaliknya,CSV dilaksanakan dengan niatan mulia untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial yang selaras dengan upaya untuk menghasilkan profit. Kata Porter, “companies can create economic value by creating societal value”. Jadi penyelesaian persoalan sosial tidak ditempatkan sebagai aktivitas sampingan, tapi dilaksanakan sepenuh hati sebagai bagian dari misi dan eksistensi perusahaan.

Godo Tjahjono, PhD (Strategic Marketing & Humanistic Management Expert PhD in Consumer Behavior from Western Sydney University Australia menambahkan, konsep CSV maupun MCSI (Marketing & Corporate Social Initiative) seharusnya memang sudah diletakkan dalam jantung strategi perusahaan. Pasalnya, kini telah berkembang humanistic business dan juga social entrepreneurship. Artinya, CSV maupun MCSI harus sudah menyatu dalam DNA perusahaan. “Perusahaan harus menempatkan konsumen sebagai manusia yang memiliki harkat, bukan sekadar obyek pembeli. Harkat manusia terletak pada nilai-nilai seperti kejujuran, kesopanan, persahabatan, kepedulian, keluarga dsb jadi tidak mengarahkan manusia menjadi individualistis mau pun materialistis,” tegas Godo.

Jadi, CSV maupunMCSI yang ideal itu harus strategis dan memiliki dampak sosial yang menyelesaikan problem yang ada di masyarakat secara berkesimbungan. MCSI yang ideal harus merupakan refleksi dari visi perusahaan yang berwawasan kemanusiaan dengan upaya menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan dan lebih beradab, yang bisa diwujudkan dalam bentuk fasilitas publik, membangun kesadaran tentang nilai-nilai kebaikan, dan perusahaannya sendiri berkembang menjadi lebih sosial dan humanis, dengan kinerja keuangan yang baik dan wajar.

Untuk itu, Godo menyarankan, perusahaan atau pemilik merek harus bisa membentuk perusahaan atau manajemen yang lebih humanis, dan mau mewujudkan visi dalam framework sosial terkait dengan kinerja keuangan yang baik. Disinilah perlunya membuat rencana pemasaran atau penjualan yang mengarah pada the greater social good, sehingga tidak perlu lagi muncul dikotomi social budget atau commercial budget, karena rencana komersial juga memiliki muatan social,” sarannya.

Menurut Dr. M. Gunawan Alif - Vice Rector, Universitas Sampoerna & Chairman, sebenarnyabeberapa perusahaan multinasional sudah menerapkannya dengan baik dan bisa dicontoh oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Seperti Unilever, misalnya, menetapkan Unilever Sustainable Living Plan (USLP) dengan tujuan antara lain mengurangi jejak lingkungan dari kegiatan bisnisnya hingga separuh, dan memasok 100 persen bahan mentah pertanian utk perusahaan dari sumber-sumber yang dikelola secara lestari.

Sebagai perusahaan bisnis yang memerlukan laba untuk terus berkembang, menurut Gunawan, Unilever secara strategik melibatkan petani kedele hitam dalam memastikan pasok kedele yang berkualitas, mendorong kebiasaan mencuci tangan untuk mencegah penyakit (Lifebuoy), atau mengajarkan untuk memelihara dan menggosok gigi (Pepsodent). “Dengan pendekatan semacam ini maka sesungguhnya telah berusaha mempertimbangkan bottom line secara lebih lengkap: People, Planet & Profit,” jelasnya.

Kuncinya, CSV maupun MCSI harus dipahami sebagai suatu keputusan stratejik baik di level pelaksana maupun di level top executive. Sehingga tantangannya adalah bagaimana memberikan wawasan pada manajemen atau mengubah sikap mental terhadap CSV maupun MCSI supaya konsep program tidak berdiri sendiri, tetapi menyatu sejak dari pembuatan produk baru hingga strategi pemasaran dan strategi penjualannya. “Kegiatan CSV maupun MCSI harus didekati secara stratejik, bukan dengan pendekatan karitatif. Dengan demikian, pengelolaan maupun penganggaran dapat dilakukan dengan measurement yang lebih baik,” tegas Godo Tjahjono. (Dyah Hasto Palupi)

Pages: 1 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)