Memiliki karyawan berkualitas tinggi yang berhubungan langsung dengan pelanggan merupakan bagian integral dari keunggulan perusahaan. Ini karena pada dasarnya layanan yang diberikan oleh karyawan mencerminkan citra organisasi dan mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan itu sendiri dan perusahaan secara keseluruhan.
Pada 2008, dua orang peneliti -- Solnet dan Kandampully – yang mengamati beberapa perusahaan legendaris seperti FedEx, Harrah Entertainment, Southwest Airlines, dan lain-lain menemukan bahwa perusahaan-perusahaan ini memiliki karakteristik umum, yakni manajemen yang berkomitmen terhadap kualitas pelayanan, berorientasi pada pelanggan, dan berorientasi karyawan.
Yang menarik, dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak perusahaan yang bergerak di bidang jasa menginvestasikan dananya untuk mengembangkan komitmen karyawannya guna meningkatkan kualitas layanan seperti yan diinginkan pelanggannya. Tiga lembaga keuangan berkinerja tinggi, yakni Bank of America, Citibank, dan One Valley Bank misalnya, memiliki karakteritik yang berfokus pada unsur-unsur layanan seperti budaya perbankan yang jelas yang ditunjukkan komitmen manajemen, memberdayakan karyawan dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan; dan meningkatkan proses operasionalnya melalui penerapan teknologi maju.
Komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan ditunjukkan oleh kesadaran pengelola perusahaan tersebut memilih inisiatif kualitas sebagai standar operasi operasional dan strategis organisasi, dan memiliki kualitas kepemimpinan dan sumber daya yang mampu mengadopsi dan melaksanakan inisiatif kualitas tersebut. Indikator komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan adalah visi manajemen terhadap layanan yang mencerminkan komitmen pelayanan yang sebenarnya dan bukan hanya lip-service, keterlibatan pribadi-pribadi dalam manajemen tersebut yang ditunjukkan dengan masukan yang diberikan oleh individu-invidu dalam proses pelayanan, dan pemberdayaan atau mendorong karyawan yang berhubungan langsung dengan pelanggan untuk berbicara dan menjalankan pekerjaannya.
Ketika menjabat Direktur Distribution Network Bank Mandiri, Zulkifli Zaini, tulis dalam bukunya Execution Matters! – Rencana Tidak Mengubah Apa-apa -- diberi tantangan meningkatkan kualitas layanan (service of excellence) dengan membenahi standar prosedur pelayanan di seluruh kantor cabang Bank Mandiri. Untuk itu dia banyak melakukan kunjungan ke cabang. Suatu saat dia menjumpai beberapa hal yang mengejutkan. Misalnya, di suatu cabang dia menjumpai seorang petugas security sedang asyik duduk sambil membaca koran dan merokok di depan pintu.
Saat masuk ke kantor cabang, Zaini melihat cara petugas customer service melayani nasabah. Saat petugas itu melayani nasabah, tiba-tiba rekan kerjanya lewat dan mereka asyik mengobrol, “Kita makan siang dimana? Oh, disitu saja.” Petugas itu mengobrol seperti itu padahal masih ada nasabah di depannyayang harus dilayani. Dalam hati Zaini menggerutu, “Di mana rasa hormat si customer service ini ke nasabah?” Masih belum cukup. Masih di cabang tersebut, Zaini menjumpai AC yang tidak beres sehingga udara ruangan panas. Toiletnya jorok, back office kotor, dokumen berserakan dimana-mana dan ruangan tempat menyimpan dokumen acak-acakan.
Begitu kembali ke kantor pusat, dia mencari informasi peringkat service Bank Mandiri. Dia mendapat informasi dari stafnya bahwa peringkat layanan Bank Mandiri saat itu ada di urutan 16. Dia lalu meneliti kinerja direktorat yang dipimpinnya dan menemukan fraud dimana-mana. Di banyak cabang di seluruh Indonesia pegawainya nyolong uang, dan sebagainya.
Untuk membenahi itu semua, langkah pertama yang dilakukannya adalah mengumpulkan seluruh kepala wilayah dan mengatakan kepadamereka bahwa target nomor satu Bank Mandiri adalah memperbaiki layanan. Banki Mandiri harus menjadi bank dengan layanan terbaik di Indonesia. Target kedua adalah menurunkan fraud. Untuk itu, fokus yang harus dibenahi adalah orangnya, baik dari sisi karakter maupun kompetensinya. Mereka harus mampu membangun strategi, menyusun program dan melakukan eksekusi sehingga menghasilkan kinerja yang luar biasa.
Itu untuk karyawan yang sudah ada. Untuk karyawan baru, rekrutmennya harus didasarkan pada attitude-nya. Saat merekrut karyawan, Bank Mandiri mendahulukan soft aspects, seperti pola pikir, sikap, nilai-nilai, dan perilaku, baru kemudian hard-aspects yang meliputi ketrampilan dan pengalaman. Ini karena jauh lebih sulit membentuk soft aspects ketimbang hard-aspects. Attitude yang dituntut adalah melayani. Bank Mandiri tidak akan merekrut karyawan untuk posisi front office yang tidak bisa melayani, supel, dan saat diomeli nasabah dia tetap tersenyum.
Awalnya, ketika itu disampaikan kepada oara kepala wilayah, mereka ragu. “Pak kita ini bank BUMN, bank plat merah. Kita biasa dilayani, kita tidak biasa melayani. Jadi kemungkinan untuk bisa menjadi bank dengan service yang terbaik, menurut hemat kami sulit.” Itu kata mereka. Zaini menjawab keraguan mereka dengan mengatakan, “…target kita adalah menjadi bank terbaik di Indonesia dari sisi servis. Dan caranya cuma satu, yaitu Saudara semua harus nurut sama saya. Saudara semua harus ikut saya. Kalau ada yang nggak mau ikut saya, that’s the door, you go out,” sambil menunjuk ke arah pintu. Mereka semua diam dan sadar bahwa Zaini serius.
Zaini lalu melanjutkan dengan mengatakan, “Agar servis Bank Mandiri nomor 1, Saudara saya paksa. Saya akan paksa Saudara untuk melakukan servis yang baik. Karena saya paksa, Saudara akan menjadi terpaksa. Dan karena Suadara terpaksa setiap hari, Saudara akan terbiasa. Terbiasa untuk menjalankan servis yang baik.” Setelah melakukan berbagai proses perombakan, peringkat servis Bank Mandiri membaik, dari peringkat 16 naik ke 11, 3, 2 dan akhirnya berada di peringkat teratas atau peringkat 1. Peringkat pertama dalam hal service excellence itu diterima Bank mandiri delapan kali berturut-turut.
Ada beberapa pelajaran dari pengalaman tersebut. Pertama, bisnis layanan seperti bank, yang utama adalah orang-orangnya. Dalam hal ini adalah mereka yang berada di frontiline. Citra perusahaan sangat bergantung pada cara frontliner melayani nasabahnya, buka pada visi atau misi perusahaan atau tagline perusahaan. Kedua, seorang pemimpin yang mendapati tough reality, dia harus cepat melakukan tough action. Bila tidak, proses transformasi loyo dan terseok-seok.
Melalui buku ini, Zaini yang kemauan menjadi CEO Bank Mandiri (2010-2013) banyak memberikan pelajaran berharga terutama tentang bagaimana seorang pimpinan perusahaan harus berbuat. Dalam tangkapan saya setelah membaca buku ini, bagi seorang Zaini, orientasi pada kinerja adalah segala-galanya. Menurut Zaini, substansi dari sebuah kepemimpinan adalah performance, dan berbicara tentang performance tentu adalah tentang hasil. Indikator performa pemimpin dapat dilihat dari laporan keuangan, harga saham dan kapitalisasi pasar. Angka-angka dalam laporan keuangan, laba rugi, harga saham dan kapitalisasi pasar itulah yang membentuk kredibilitas seorang pemimpin perusahaan, bukan hanya visi dan eksekusinya. Ini karena visi dan eksekusi yang hebat tidak lengkap sejauh tidak menghasilkan angka kinerja yang mengesankan.
Buku ini bercerita benar-benar dari pengalaman penulisnya. Tidak terlalu banyak – kalau tidak mau diikatakan tidak ada – teori dalam buku ini. Buku ini banyak bercerita tentang pengalaman penulisnya. Karena ditulis berdasarkan pengalamannya baik saat penulis memulai karirnya di Bank Mandiri sebagai account officer di Bapindo yang kemudian merger bersama dengan bank BUMN lainnya menjadi Bank Mandiri hingga menduduki posisi Direktur Utama Bank Mandiri (2010-2013), buku ini seakan membawa pembacanya larut dalam kegiatan penulisnya sehingga buku ini gampang dicerna.
Namun demikian sebagaimana buku-buku lainnya, yang tertulis dalam buku ini tidak otomatis cocok seratus persen bila Anda menerapkannya di perusahaan Anda. Butuh kreatif dan penyesuaian dalam mengaplikasikannya karena karakteristik pemasalahan dan lingkungan di perusahaan Anda berbeda. Buku ini layak untuk dibaca, terutama bagi para eksekutif peruahaan.