Amalia E Maulana semakin tajam menempatkan positioning personal brandnya. Lebih spesifik dari positioningnya yang sudah tersemat sebagai konsultan branding dan ethnographer, Kamis (28/05) kemarin ia meluncurkan buku baru berjudul “PERSONAL BRANDING, Membangun Citra Diri yang Cemerlang.” Karya ini adalah buku ketiga setelah pada tahun 2009 ia menerbitkan “Consumer Insight via Ethnography” dan “BRANDMATE : Mengubah Just Friend Menjadi Soulmate” di tahun 2012.
Amalia E Maulana dalam acara peluncuran bukunya " PERSONAL BRANDING, Membangun Citra Diri yang Cemerlang"
Dalam buku tersebut, ia mencatat beberapa miskonsepsi seputar personal branding yang membuat tidak banyak orang serius menekuninya. Banyak orang yang menganggap personal branding adalah ilmu sederhana dan kemudian semakin disederhanakan, bahkan cenderung disepelekan. Termasuk adanya anggapan bahwa personal branding hanya untuk para artis dan tokoh. Padahal, menurutnya, semua orang mestinya butuh membina personal brand juga.
Miskonsepsi kedua adalah anggapan yang menyamakan personal branding dengan “pencitraan”, sebuah kata yang sudah telanjur mendapat stigma negatif jika apa yang dicitrakan tidak sesuai dengan kenyataan. Semestinya, lanjut Amalia, untuk melakukan branding dirinya sendiri, seseorang tidak perlu menjadi orang lain. Ia juga tidak perlu melengkapi dirinya dengan asesoris pribadi yang mahal karena sesungguhnya personal branding itu tidak tergantung dari kemasan/perlengkapannya.
Menurut Doktor lulusan School of Marketing University of New South Wales, Australia ini, tujuan utama personal branding sebenarnya bukan menjadikan diri terkenal, lebih dari itu adalah untuk menjadikan pribadinya sebagai orang terpilih. “Personal brand cemerlang adalah seseorang yang selalu dipilih dalam setiap kesempatan. Dipercaya bisa memberikan benefit yang diharapkan oleh stakeholder-nya,” paparnya.
Di salam buku tersebut, Amalia juga menyarankan pelaku personal branding untuk memperbanyak “soulmate” –- baca social capital-- terutama ketika keadaan tenang dan baik-baik saja. “Jangan menunda. Ujian brand atau ujian reputasi itu bisa datang kapan saja yang tidak kita ketahui waktunya. Saat ujian itu datang, pastikan banyak soulmate yang siap menjadi brand guardian,” demikian pesan CEO Ethnomark Consulting tersebut.
Peluncuran buku “Personal Branding, Membangun Citra Diri yang Cemerlanng” dilakukan di Gedung Dewan Pers bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang dirangkai dengan pelatihan Personal Branding untuk Jurnalis. Amalia berpendapat bahwa jurnalis yang cemerlang bukanlah semata yang terkenal, namun yang karyanya diminati oleh audience, yang disukai narasumbernya, dan diberi tempat oleh medianya untuk berkarya.
Wartawan senior Marah Sakti Siregar mengakui bahwa branding adalah sesuatu yang baru bagi wartawan karena selama ini berlaku “mazhab” (konservatif) yang memisahkan secara ketat antara objective marketing dengan visi produksi (redaksional) secara ketat. “Pagar wartawan adalah kode etik jurnalistik, public servant. Wartawan yang (namanya) terlalu melambung juga bisa mendapat gangguan karena kami harus menghindari abuse of power,” tegasnya. Dalam definisi ini, menurutnya, “merek” diri wartawan yang telah diakui adalah independensi dan integritas pribadi yang bersangkutan.
Masalahnya kemudian, wartawan di Indonesia cenderung tidak mendapatkan kompensasi yang setimpal dengan kontribusi dan idealisme profesinya, jauh berbeda dengan keadaan para wartawan di dunia maju. Kondisi ini tentu menjadi perjuangan berat tatkala dunia pers perlahan-lahan bergerak menjadi mesin industri yang menuntut pertanggungjawaban ekonomi. Marah sendiri mengamati adanya fenomena di mana divisi usaha dan redaksi secara perlahan-lahan semakin merapat. Ini terjadi hampir pada semua pelaku industri pers, termasuk media-media mainstream yang sudah diakui kredibilitasnya.
Menanggapi insight tersebut, Amalia menyarankan bahwa personal branding jurnalis bisa dijalankan pada koridor penonjolan kompetensi dalam hal spesifikasi keahlian, selain tentu saja dengan tetap mengedepankan faktor integritas personal. Bagaimana pun juga, definisi strong brand, sebagai mana terminologi konsep branding adalah merek yang berhasil melewati tahap-tahap : dipahami maknanya – keyword-nya sampai ke benak - dikenal audience-nya - dipahami tawarannya - dipilih pada kesempatan pertama – lalu dipilih lagi – direkomendasikan kepada teman-temannya (tentu saja karena dipandang memiliki value) – dan puncaknya punya pembela (guardian). Sekali lagi ia mengingatkan bahwa branding personal bukan sekadar mengiklankan diri, tapi memastikan bahwa makna dan asosiasi yang ingin dibangun sampai kepada audience dengan tepat. Di situlah sangat penting upaya membangun reputasi dan kepercayaan di hadapan para stakeholder.
Maka kepada para jurnalis yang ingin punya brand sukses, Amalia berpesan agar ,”Stay relevant, consistent, distinctive dalam arti authentic, genuine and one of a kind.”