Sebuah survei yang dilakukan oleh Kenya Suzie Wokabi (pendiri kosmetik SuzieBeauty) menunjukkan bahwa perempuan Kenya bersedia menghabiskan sampai 20% gaji mereka untuk produk kecantikan. Suatu hal yang penting di sektor perawatan pribadi adalah adaptasi dari produk Barat dengan kebutuhan spesifik konsumen Afrika.
Beberapa perusahaan internasional telah mengakui ini, dan telah dengan baik menyesuaikan produk global mereka dengan kebutuhan Afrika atau meluncurkan rentang produk baru. Unilever misalnya, mengembangkan berbagai merek sampo dan kondisioner khusus ditujukan rambut etnis dengan memperkenalkan warna gelap. Produk anti-penuaan juga dikembangkan untuk kulit etnis. Fenomena ini juga membuka peluang bagi pengusaha lokal seperti kosmetik SuzieBeauty (Kenya) dan House of Tara (Nigeria).
Afrika menyajikan peluang yang besar bagi produsen dan pengecer barang-barang konsumen yang bergerak cepat tetapi membutuhkan penyesuaian strategi dan dieksekusi dengan memperhitungkan tingkat pertumbuhan ekonomi, kebutuhan dan preferensi konsumen lokal. Selain itu, kecepatan untuk bergerak merupakan faktor yang sangat penting. Perusahaan yang mampu membangun pijakan atau memperluas kehadiran mereka dengan cepat, berpeluang mendapatkan posisi yang baik untuk menangkap nilai begitu konsumen di benua itu meningkatkan belanja mereka di tahun-tahun mendatang.
Menurut McKinsey Africa Consumer Insights Center, industri produk perawatan wajah Afrika diperkirakan tumbuh lebih dari $ 400 juta pada tahun 2020. Terdapat beberapa faktor yang mendukung pergerakan cepat di sektor ini, yakni urbanisasi, pajak dan harga, preferensi lokal, dan branding.
Urbanisasi menciptakan permintaan dan distribusi untuk sabun dan deterjen. Menurut Frost & Sullivan Africa Progress Report (2010), kota-kota di Afrika akan mengalamai peningkatan sebesar 25 persen pada tahun 2025 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 3,4 persen per tahun. Pada tahun 2050, 60 persen dari populasi Afrika akan urbanisasi. Menurut laporan itu, beberapa kota yang cepat berkembang antara lain Dar es Salaam, Kinshasa, Luanda, dan Addis Ababa.
Urbanisasi sangat penting karena sebagian besar konsumen sabun dan deterjen berada di perkotaan. Karena itu, sementara penduduk pedesaan jumlahnya menurun dan menjadi urban, selera mereka beralih sebagai akibat dari gaya hidup yang mendedikasikan lebih banyak waktu untuk bekerja. Bila Anda bertanya kepada seorang perempuan Kongo tentang berapa lama dia telah tinggal di Kinshasa, jawabannya tidak akan mengejutkan Anda. "Saya baru saja pindah dari luar kota dan saya masih menyesuaikan diri dengan kehidupan di Kinshasa. Saya mencintai pekerjaan baru saya."
Terakhir, dengan lebih dari 85 persen dari bahan baku yang harus diimpor, harga lokal untuk bahan yang dibutuhkan dalam industri sabun dan deterjen berfluktuasi dengan kisaran lebih dari $ 250 seminggu. Ini membuat banyak produsen lokal harus berjuang beradaptasi dengan fluktuasi tersebut
Meskipun telah terjadi perbaikan tata kelola, Afrika masih menghadapi tingginya tingkat birokrasi dan korupsi. Kawasan ini juga memiliki defisit infrastruktur yang besar, khusus rendahnya kepadatan jalan/rel sehingga sulit untuk memindahkan barang. Sering terjadinya pemadaman listrik menambah beban bisnis dan distribusi di wilayah tersebut. Sebagian besar pemerintah Afrika telah mencatat ini dan memulai program ekspansi infrastruktur.
Penilaian Bank Dunia tentang kemudahan berbisnis masih memasukkan negara-negara Afrika di peringkat yang paling buruk. Hal ini dapat diterjemahkan ke dalam biaya yang lebih tinggi untuk melakukan bisnis dan keengganan perusahaan untuk melakukan bisnis di Afrika dibandingkan bagian lain dari dunia. Kurangnya keterampilan dan pengalaman para manajer tingkat menengah atau senior juga menjadi masalah. Ini menjadi tantangan bagi perusahaan FMCG ketika harus menyusun strateginya. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki pasar, persaingan untuk mendapatkan tenaga berbakat juga memanas.
Sifat distribusi ritel di Afrika juga berbeda. Mayoritas retail terdiri dari pedagang informal dan kecil. Di Nigeria misalnya, pedagang independen mencapai 50% dari pasar ritel. Tantangan distribusi juga merupakan faktor di sisi input karena seringnya ketidakpastian sekitar pasokan dan variabilitas dalam kualitas bahan baku. Karena itu, perusahaan harus fokus pada pembangunan hubungan pemasok yang kuat atau bahkan melakukan integrasi vertikal dalam rangka membangun rantai pasokan yang lebih kuat.