Jika Anda perhatikan social media akhir-akhir ini, beredar video seluruh lapisan masyarakat mulai dari Bill Gates hingga Oprah, menumpahkan satu ember air dingin ke atas kepala mereka sendiri yang semata-mata untuk kegiatan sosial. Tren tersebut dikenal dengan nama Ice Bucket Challenge.
Asal usul Ice Bucket Challenge bermula dari kota Boston, yaitu sebagai penghormatan untuk Pete Frates, mantan kapten tim baseball Boston College yang didiagnosa terkena penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis) dua tahun lalu. Aturannya sederhana saja, partisipan berhak memilih diatara dua, mengguyur dirinya dengan seember air dingin atau mendonasikan sejumlah USD100 untuk ALS charity.
Sukses kampanye Ice Bucket Challenge bukan hanya terletak pada faktor psikologis, tetapi juga konten yang viral, konten yang akan dilihat oleh banyak orang dalam waktu yang singkat.
Presiden Obama rupanya turut berpartisipasi dan memilih opsi kedua. Namun ternyata banyak partisipan lain yang memilih dua-duanya. Hasil dari kampanye viral ini sungguh mencengangkan. ALS Association dilaporkan berhasil mengumpulkan donasi sejumlah USD31.5 juta hanya dalam rentang waktu 29 Juli – 20 Agustus 2014, baik dari partisipan yang melakukan Ice Bucket Challenge ataupun yang hanya menikmati tontonan tersebut. Peningkatan donasi tersebut sangat signifikan, pasalnya periode tahun lalu hanya terkumpul USD1.9 juta.
Yang menakjubkan adalah ALS Association sendiri tidak pernah memulai Ice Bucket Challenge. Tren ini berkembang sendirinya di masyarakat. Social media marketers dan panitia penggalang dana dapat cermati pelajaran berharga dari kampanye yang ramai beredar di musim panas tahun ini.
Menurut Gene Lewis, Partner and Chief Creative Officer Digital Pulp yang dilansir MIX Marcomm dari Mashable.com, rahasia kesuksesan Ice Bucket Challenge pada dasarnya sangat sederhana, yakni call to action yang gampang dilakukan oleh pendengar, penonton, ataupun pembaca. “Banyak hal-hal yang sukses padahal dasarnya sederhana, seperti Ice Bucket Challange ini. Saat kita melihat atau mendengar Ice Bucket Challenge, yang terlintas di pikiran kita adalah mengapa kita tidak segera mencobanya,” ungkap Lewis.
“Faktor yang mendukung kesuksesan viral nya beragam, seperti keseruannya, sesuatu yang personal dan relevan, sesuatu yang mudah dilakukan mulai dari anak kecil hingga dewasa, gampang untuk di-share, dan yang paling penting adalah menantang atau perlu keberanian. Saat Anda ditantang Ice Bucket Challenge, Anda harus membuat video agar semua orang di dunia bisa melihat. Ini bukan sekedar status update yang mudah dilupakan, ini adalah pengalaman pribadi yang akan memberi kesan,” tambahnya.
Menurut Bob Cargill, Director of Social Media Overdrive Interactive, aspek kesuksesan lainnya terletak pada karakter sosialnya. “Yang dapat dipelajari oleh social media marketers dan panitia penggalangan dana yaitu sekarang adalah era selfie. Orang suka pamer ke teman atau keluarganya bahwa dia mendukung suatu kegiatan sosial untuk brand, apalagi jika mereka akan mendapatkan imbalan dari kegiatan ini,” ujarnya. Imbalan yang diterima dalam Ice Bucket Challenge ini mernurutnya adalah ada kepuasan tersendiri saat sesorang menunjukkan kegiatan kemanusiaan dan pujian dari kawan-kawannya.
Sedangkan menurut Rob Moritz Managing Editor Social Newsroom Innocean, aspek penting yang menjadikan kampanye ini sukses adalah waktu yang singkat. “dDlihat dari perspektif marketing sosial media, kampanye ini hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk melakukannya atau menontonnya. Dan kontennya adalah sesuatu yang menghibur, konten yang singkat dan mudah di-share atau ditiru untuk dilakukan,” imbuhnya.
Kesuksesan viral Ice Bucket Challange ini tidak terduga. Pelajaran yang dapat dipelajari oleh social media marketers adalah kesuksesan bukan hanya terletak pada faktor psikologis, tetapi juga konten yang viral, konten yang akan dilihat oleh banyak orang dalam waktu yang singkat. Solusinya adalah fokus pada kualitas konten, yang tentunya spesifik pada brand.