Headline

Benarkah PR akan Mati?


Dalam tiga decade ini publik seakan dibanjiri dengan kematian dari perangkat komunikasi pemasaran bahkan marketingnya sendiri. Masih ingat dalam pikiran kita, tulisan Bill Lee yang berujudul Marketing Is Dead yang dimuat di Harvard Business Review pada 2012. Sepuluh tahun sebelumnya, Al Ries dan Laura Ries meluncurkan buku laris The Fall of Advertising & the Rise of PR. Pertanyaannya lalu apa yang masih hidup? Benarkah mereka sudah mati.
Realtitasnya, yang dikatakan “mati” itu masih menjadi andalan dalam komunikasi pemasaran. Memang harus diakui bahwa setiap organisasi selalu menghadapi tantangan besar untuk bisa mengelola perubahan internal dan eksternal secara efektif. Agar bisa bertahan di tengah arus perubahan lingkungan yang semakin dinamis, perusahaan harus terus-menerus melakukan perubahan strategi, struktur, proses, dan budaya dan melakukan adaptasi secara cepat.
Tahun lalu terbit buku dengan judul yang juga menantang, Trust Me, PR is Dead yang ditulis oleh Robert Phillips, aseorang veretarn PR yang pernah menjadi ekssekutif perusahaan konsultan PR ternama. Ada beberapa hal yang membuat PR bakal mati. Pertama, dalam praktik PR masa kini, masih banyak dijumpai perilaku top-down di dunia yang pada dasarnya sudah semakin datar. Saat berbicara, PR memposisikan dirinya seakan berada dalam suatu hierarki, padahal dia berada dalam jejaring.
Oleh karena memulai dari posisi yang salah, seringkali PR tidak mengenali domainnya sendiri dan semesta yang lebih luas mulai dari warga, perusahaan dan merek. Intinya adalah bahwa PR tidak bisa lagi mendiktekan dengan istilahnya sendiri. Ini karena pada dasarnya produk PR bukan lagi sekadar penyiaran atau pengeras suara atau mengelola pesan.
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi PR, menurut Phillips, adalah ketidakmampuan industri PR untuk benar mendapatkan dan memanfaatkan data. Para pengelola jaringan perusahaan konsultan PR besar telah menginvestasikan jutaan dolar untuk data. Namun, ini malah menjadi masalah. Chief Executive Publicis Maurice Levy, mengakui pihaknya telah menginvestasikan juta dolar untuk data. Namun, investasi itu ternyata tidak banyak mendukung PR .
Saat ini memang era big data. Berbeda dengan dulu, era yang bila seseorang akan mengambil keputusan kesulitan mendapatkan data. Persoalannya, data yang berlebih juga menimbulkan kebingungan. Pengelola tak mengerti mana yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat. Padahal, big data yang sebenarnya memnberikan kesempatan mengubah permainan pemasaran dan penjualan sejak Internet masuk hampir 20 tahun yang lalu, malah bisa menjadi petaka. Banyak eksekutif menemukan diri mereka kini harus berhadapan dengan sejumlah besar data dan kompleksitas organisasi, dengan cepat mengubah perilaku pelanggan, dan makin meningkatpeningkatan tekanan kompetitif.
Beberapa perusahaan yang berhasil menggunakan data besar dan analisis secara efektif menunjukkan bahwa tingkat produktivitas dan profitabilitas mereka 5-6 persen lebih tinggi daripada rekan-rekan mereka. Perusahaan-perusahaan yang sukses bukanlah orang yang memiliki data yang paling banyak, tetapi orang-orang yang menggunakannya dengan cara terbaik
Saat ini seakan ada adegium bahwa perusahaan itu data dan pemasaran itu data. Di sisi lain, belakangan muncul big data. Sehingga, seakan-seakan semua adalah data. Jika Anda seorang pemimpin bisnis, Anda sekarang dikelilingi oleh data, dan saya yakin Anda menyadari ada nilai bersembunyi di dalamnya. Di dalam data tersembunyi sejumlah peluang. Setidaknya Anda dapat mengubah data menjadi pendapatan.
Dalam konteks ini mulai dari pemasaran. Lisa Arthur dalam bukunya “Big Data Marketing: Engage Your Customers More Effectively” mengajukan lima langkah agar data bekerja. Langkah Pertama: Cermat dalam berstrategi. Pemasaran, penjualan, IT dan seluruh direksi harus menyelaraskan balik strategi bersama. Strategi ini harus mengikat kembali ke tujuan bisnis inti, dan itu harus komprehensif agar masing-masing bidang: interaksi pelanggan, analisis, data, perubahan organisasi dan teknologi.
Langkah kedua: Buanglah Silo-silo. Survei yang dilakukan Arthur terhadap lebih dari 2.200 pemasar menemukan bahwa sebagian besar percaya silo – baik internal maupun eksternal di lingkungan pemasaran — mencegah mereka secara efektif melaksanakan kampanye. Prediksi Gartner, CMO akan segera membelanjakan lebih banyak pada teknologi daripada CIO. Rekan mereka yang berkerja di lingkungan IT khawatir, pemasaran akan mendorong inisiatif teknologi dalam ruang hampa.
Langkah ketiga: Perbaiki Hairball Data. Hairball merupakan gambaran tumpukan rumit dari interaksi, aplikasi, data dan proses yang terakumulasi ketika perusahaan tidak siap untuk menangani informasi dari berbagai sumber. Penelitian Arthur menunjukkan bahwa hanya 18% pemasar memiliki pandangan holistik pelanggan mereka. Pemasar perlu bekerja di seluruh departemen perusahaan dengan menggunakan proyek percontohan skala kecil untuk melepaskan simpul, helai demi helai yang membelunggu silo-silo tadi.
Langkah keempat: Membuat Metrik Mantra. Pada tahun 2013 pemasaran masih berjuang untuk membuktikan nilainya. Mengapa? Karena beberapa CMO tahu cara mengemudi dan mengukur ROI. Untuk memulai, pemasar harus menentukan metrik yang terbaik yang menunjukkan bagaimana upaya mereka berkontribusi pada bisnis. Kemudian, mereka harus berbagi hasil dengan C-Suite untuk meningkatkan transparansi dan memvalidasi nilai pemasaran.
Langkah Lima: Proses itu Hitam Baru. Sebagian besar pemimpin bisnis tidak berpikir proses sebagai seksi. Namun, ketika proses memberikan paparan tentang keunggulan kompetitif atau mengangkat brand relevansi, mereka akan bilang itu sangat seksi. Pendekatan Ad hoc tidak lagi bekerja. Hari ini, pemasaran harus gesit, sampai ke pasar lebih cepat dan lebih efektif. Marketer sukses menyederhanakan, mengotomatisasi dan merevolusi proses untuk meningkatkan kinerja, meningkatkan pengalaman pelanggan dan meningkatkan penjualan. Jadi? Mudah-mudahan PR berumur panjang.

Edhy Aruman

Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Sebelum di Swa, Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen PR FISIP UI, dosen riset STIKOM LSPR Jakarta, dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.

Recent Posts

J&T Express akan Kembali Menggelar “J&T Connect Run 2024”

MIX.co.id - Tahun 2024 J&T Express, perusahaan ekspedisi berskala global, kembali menggelar J&T Connect Run.…

4 hours ago

Intip Keberhasilan EF Kids & Teens Jalankan Program Pelatihan Bahasa Inggris di Daerah Wisata

MIX.co.id - EF Kids & Teens Indonesia baru saja merampungkan progam Pelatihan Bahasa Inggris untuk…

5 hours ago

Kolaborasi Jadi Kunci Kepengurusan Perbasi Periode 2022-2026 dalam Mengukir Prestasi

MIX.co.id - Sejak dilantik, masa kepengurusan Perbasi (Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia) Jakarta periode 2022-2026,…

8 hours ago

Soroti Tren Industri Manufaktur, PLN Icon Plus Gelar FGD Transformation Festival

MIX.co.id - Sejak berdiri pada 3 Oktober 2000 lalu hingga kini, PT Indonesia Comnets Plus…

8 hours ago

Fakultas Komunikasi LSPR Gelar FGD untuk Pemutakhiran Kurikulum

MIX.co.id - Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pemutakhiran Kurikulum…

9 hours ago

Selly Adriatika Dorong Perempuan Indonesia untuk Selalu Powerful

MIX.co.id - Lebih dari dua dekade (20 tahun) berkarir di perbankan dengan berbagai posisi, akhirnya…

9 hours ago