Bagi Panadol, persaingan di tingkat retail tradisional sangat sangat luar biasa. Bayangkan, kata Anie Rachmayani, Senior Brand Manager Panadol kepada MIX, benak konsumen Indonesia untuk kategori cold and flu Anie, saat ini diperebutkan oleh lebih dari 100 brand. Ini belum termasuk merek-merek tradisional mulai dari jamu hingga obat puyer tradisional. Ini sudah tentu di retail tradisional muncul suatu “medan pertempuran” yang sangat clutter dan dihuni para pemain local dan multinasional
Sejujurnya, konsumen Indonesia memang masih “menyukai” berbelanja di pasar atau ritel tradisional. Pada 2009, pembelanja di pasar tradisional meningkat. Berdasarkan penjualan 55 produk kategori Nielsen termasuk roko, toko tradisional masih menguasai 80% dari total nilai penjualan, sedangkan modern sekitar 20%. Tahun ini, menurut Teguh Yunanto, Executive Director Nielsen, ritel tradisional masih menguasai 82 persen total toko ritel.
Hasil riset yang dilakukan MARS menunjukkan bahwa untuk produk-produk mie instant, kopi, dan sebagainya, konsumen cenderung membeli di ritel tradisional. Sementara itu untuk obat-obatan OTC seperti sakit kepala, flu dan sebagainya masih mengandalkan apotik.
Kuatnya peritel tradisional – atau bisa jadi karena makin mahalnya biaya listing di peritel modern – membuat banyak pemilik merek melirik peritel tradional. Rokok misalnya selain selalu mempertahankan margin yang diberikan kepada peritel tradisional, juga memberika insentif lain berupa program. Mirip dengan biaya listing di oulet modern, di ritel tradisional mereka juga berebut kapling.
Branding outlet misalnya. Lihat saja, antara HM Sampoerna dan Djarum seakan bersaing membranding outlet. Branding memang bukan hanya dilakukan oleh produsen rokok tapi juga Walls, provider seluler, Biskuat, pelumas dan sebagainya. Namun yang paling gencar memang rokok.
Kabarnya, untuk branding rokok ini pemilik outlet dibayar Rp 500 ribu untuk jangka setahun belum termasuk biaya pengecatan. Juga belum termasuk pemasangan shop sign dan sebagainya. Bahkan untuk planogram, ada sewanya sendi. Ada salah satu produsen rokok yang memberikan bonus rokok 5 bungkus sebulan atau kalau diuangkan senilai Rp 50 ribu sebulan selama setahun.
Sementara itu di indoor-nya, saat ini Indofood, Nestle dan ABC seakan berlomba untuk ”menyewa” space di outlet tradisional. Di daerah Bekasi misalnya, Nestle menggeber program ”sewa” kapling di outlet tradisional. Untuk sewa sebagian rak dengan ukuran dua meter kali tiga tingkatan, Nestle berani membayar Rp 75 ribu sebulan dengan masa sewa tiga bulan. Kapling yang disewa itu dibatasi dengan stiker dan dalam ruang yang dibatasi itu hanya dipajang produk Nestle.
Hal yang sama juga dilakukan merek ABC. Mereka juga melakukan hal yang sama. Demikian pula dengan Indofood, terutama untuk produk makanan bayinya. Berbeda dengan ABC atau Nestle, untuk produk Indofood kaplingnya tidak ada pembatas. Disitu cuma ada space dimana semua produk makanan bayi dipajang di tanpa ada pembatas stiker. Kalau yang begini tarifnya agak murah, Rp 25 ribu sebulan dengan masa sewa selama tiga bulan.
Intinya, dalam beberapa tahun terakhir, pemilik outlet tradisional memang banyak belajar dari peritel modern. Selain mendapat margin dari penjualan produk, mereka juga melihat peluang bahwa merek juga butuh ”dilihat” orang. Supaya dilihat konsumen, mereka menawarkan posisi yang menarik dengan tarif tertentu.
Namun saat ini, membidik pasar impuls tidak dilakukan di hanya ritel tradisoional. Coba saja Anda menyempatkan datang ke Lotte Mart (hypermarket), Giant atau Carrefour Bintaro Jaya. Disitu Anda akan menyaksikan bagaimana Lotte Mart bukan hanya sekadar menjual rak, melainkan juga menjual lorong-lorongnya. Beruntung, mereka menata hal itu dengan baik sehingga pengunjung mendapatkan eksperiential karena nuansanya yang seakan-akan tematik budaya misalnya. Konsep komersial baru dengan nuansa baru.