Headline

Bila Tak Mau Tergusur dari Pasar, Anda Harus Beriklan

 

Pernah mendengar Moxie? Tidak banyak orang yang mendengarnya. Padahal pada eranya Moxie adalah minuman ringan paling laris di Amerika. Lantas bagaimana merek yang lebih besar dari Coca-Cola itu hilang dari rak grosir dan kesadaran konsumen? Ini adalah kisah yang mungkin bisa mencerahkan dan mengingatkan siapa saja yang mengelola sebuah merek.

Fakta bahwa Moxie pernah mencapai posisi tinggi adalah sebuah cerita tersendiri. Dalam buku Admen, mad men and the real world of advertising : essential lessons for business and life, Dave Marinaccio mengaku pernah mencoba Moxie. Rasanya mengerikan, pahit dengan sisa rasa (after taste) yang kuat, sampai-sampai Marinaccio ingin meludahkannya.

Marinaccio adalah seorang penulis buku laris dan veteran periklanan. Dia merupakan salah satu pendiri dan direktur kreatif LMO Advertising yang belajar periklanan dan industrinya saat masih remaja di Chicago. Dia kemudian menulis buku terlaris internasional, All I Really Need to Know I Learned from Watching Star Trek.

Jadi bagaimana minuman ringan dengan rasa yang mengerikan itu bisa dinikmati begitu banyak orang sehingga menjadi merek nomor satu? Menurut Marinaccio, itu adalah karena iklan. Merek itu menjadi salah satu yang pertama diperkenalkan ke pasar New York. Menjadi yang pertama, saat ini dan sekarang, sangat diperhitungkan orang. Pada saat itu, iklan yang mempromosikan Moxie merajai diatas ilan merek minuman lainnya. Mereka memiliki versi awal billboard bergerak dan jingle yang mudah diingat.

Moxie berhasil menjadi juara karena dia menjadi yang pertama meluncur di pasar dan menjadi terbesar sampai suatu saat Amerika mengalami krisis gula pada tahun 1919. Kondisi ini benar-benar memukul Moxie. Bagaimana tidak, gula yang menjadi salah satu bahan utama dalam formulanya tiba-tiba harganya melompat naik secara drastis. Takut harga jualnya ikut naik, dan untuk memastikan produksi minuman ringan mereka bisa terus berjalan, perusahaan membeli sejumlah besar gula.

Dalam banyak hal, kondisi ini tidak berbeda dengan yang terjadi dengan kenaikan harga minyak pada tahun 2008. Pada musim panas 2008, harga minyak melewati atap, melonjak setinggi hingga US$ 142 per barel. Beberapa perusahaan, dalam upaya untuk menstabilkan pengaruh harga minyak dan untuk memastikan pasokan mereka pada musim dingin berikutnya, melakukan pembelian minyak secara besar-besaran dengan harga yang sangat tinggi.

Belakangan, pembeli minyak pada tahun 2008 dan pembeli gula pada tahun 1919 bernasib sama. Paska kenaikan harga minyak dan gula itu, tiba-tiba harganya anjlok secepat mereka naik. Perusahaan yang telah mengunci harga yang lebih tinggi telah menutup peluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Untuk memperbaiki neraca, Moxie memutuskan untuk melakukan beberapa pemotongan. Mereka memotong anggaran iklannya.

Hasilnya cepat dan dramatis. Penjualan Moxie turun drastis. Namun saat itu perusahaan bisa bertahan dan setelah krisis tesebut meski setelah mengurangi belanja iklannya Moxie berkembang kembali. Orang mungkin berasumsi bahwa petualangan mengurangi anggaran iklan memberi pesan tentang pentingnya pentingnya pemasaran. Namun salah bila menarik kesimpulan bahwa dalam situasi krisis tanpa beriklan suatu merek bisa bertahan.

Perkembangan berikut membuktikan pendapat tersebut salah. Satu dekade kemudian, pasar saham mulai mengalami depresi besar. Anggaran perusahaan termasuk iklan diperas. Perusahaan harus membuat keputusan sulit. Moxie sekali lagi memotong anggaran iklannya.

Anda tahu siapa yang terus melakukan iklan melalui tahun-tahun yang sangat kurus itu? Coca-Cola. Dalam situasi krisis, Coca Cola terus beriklan. Hasilnya, menjelang akhir depresi besar, Coke muncul sebagai minuman ringan nomor satu di Amerika. Moxie tidak mati. Ini bertahan sampai hari ini. Namun, kadang-kadang Anda menemukan botol Moxie yang tertutup debu di atas rak.

Edhy Aruman

Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Sebelum di Swa, Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen PR FISIP UI, dosen riset STIKOM LSPR Jakarta, dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.

Recent Posts

Binus Graduate Program Luncurkan Program Magister Desain

MIX.co.id - BINUS Graduate Program resmi merilis Program Magister Desain demi menjawab dinamika pasar yang…

3 hours ago

Targetkan Pangsa Pasar 27%, Ini Strategi yang Dipersiapkan Allianz Syariah di 2024

MIX.co.id - Penetrasi pasar asuransi syariah di Indonesia masih tercatat rendah, yakni masih di bawah…

4 hours ago

Majukan Fintech P2P Lending, Rupiah Cepat Libatkan Peran Perempuan

MIX.co.id – Perempuan memiliki peran penting dalam industri fintech peer to peer (P2P) lending. Hal…

17 hours ago

Q1 2024, Pendapatan Indosat Tumbuh 15,8%

MIX.co.id - Indosat Ooredoo Hutchison mencatatkan total pendapatan sebesar Rp 13.835 miliar, pada kuartal pertama…

19 hours ago

“Starbucks Creative Youth Entrepreneurship Program 2024” Jangkau Pelajar hingga Papua

MIX.co.id - Tahun ini, Starbucks kembali menggelar "Starbucks Creative Youth Entrepreneurship Program" (SCYEP). Melalui program…

20 hours ago

J&T Express akan Kembali Menggelar “J&T Connect Run 2024”

MIX.co.id - Tahun 2024 J&T Express, perusahaan ekspedisi berskala global, kembali menggelar J&T Connect Run.…

1 day ago