Dunia industri terganggu (disrupted). Makin tingginya kecepatan penggunaan teknologi digital oleh pelanggan dan pesaing mengganggu kemapanan.
Pelanggan makin menuntut perusahaan memberikan value yang makin tingi dan semakin tinggi. Perusahaan atau organisasi pun terus berkejaran dengan waktu untuk menciptakan nilai pada kecepatan yang semakin dipercepat.
Kemajuan sain dan teknologi seakan memberikan senjata platform digital yang berpotensi menciptakan nilai baru, mengganggu persaingan, dan memuaskan pelanggan.
Platform teknologi yang sangat terukur ini mengubah cara bisnis terhubung dan menciptakan nilai bagi pelanggan. Mereka telah mengkatalisis gelombang inovasi digital baik oleh perusahaan start up dan "pribumi" digital baru yang menggunakannya untuk menyesuaikan produk, saluran, dan model bisnis mereka.
Agustus 2017 lalu, Levi Strauss & Co meluncurkan aplikasi Virtual Stylist. Chatbot baru yang menjual bagian paling penting dari lemari pakaian Anda itu membantu pelanggan membandingkan gaya, menemukan ukuran, dan memilih jins impian mereka.
Intinya, melalui teknologi kecerdasan buatan, Levi’s menawarkan pengalaman kepada konsumen secara lebih pribadi dan nyaman sebagaimana yang mereka temukan di toko, sehingga meningkatkan percakapan dan mendorong pertumbuhan penjualan online.
Stylist Virtual adalah salah satu chatbot yang diklaim Levi’s sebagai yang pertama yang dapat diakses di Facebook Messenger dan web yang memiliki kemampuan merekomendasikan pakaian yang sesuai dengan selera pelanggan.
Alih-alih mengarahkannya ke halaman daftar seperti sebuah situs web, Virtual Stylist mengajukan pertanyaan seperti, "Bagaimana Anda menyukai jeans Anda agar sesuai dengan pinggul dan paha Anda?" Atau untuk mempersempit pilihan, aplikasi ini akan menanyakan, "kombinasi warna apa yang Anda pilih?"
Dua puluh tahun lalu, untuk memenangkan pasar pemilik merek, terutama yang branded, cukup memiliki produk ikonik. Kalau Levi’s misalnya memiliki 501 sudah cukup untuk menguasai pasar.
Sekarang berubah. Memiliki produk ikonik saja tidak cukup karena konsumen saat ini ingin dimanjakan dengan pengalaman. Persoalannya, saat ini sangat banyak pengalaman unik.
Dalam situasi seperti itu, perusahaan bermerek harus terus berpindah dari satu produk ke pengalaman lainnya. Kini, pengalaman itu bisa diakses melalui ponsel. Konsekuensinya, semakin banyak konsumen yang ada di ponsel mereka, perusahaan harus berpikir jauh lebih besar tentang pengalaman dan lokasi mereka.
Industri ritel tradisional praktis telah dibalikkan oleh kekuatan luar. Mereka kini menghadapi gangguan baru: gangguan diri sendiri. Mereka harus bekerja cepat bila tidak ingin diganggu orang lain. Levi Strauss & Co, yang membuat jeans biru pertamanya di tahun 1873 itu misalnya.
Saat alat rekomendasi produk personalisasi Virtual Stylist itu langsung online di AS pada Agustus 2017. Padahal, menurut Claudia Roggenkamp, wakil presiden eCommerce Levi Strauss di Eropa seperti dikuitp eMarketer, anggaran aplikasi itu baru disetujui April.
Karena harus cepat, alat tersebut tidak melalui uji coba konvensional. Pembuatnya juga perusahaan startup yang lebih kecil daripada vendor yang biasa bekerja sama bekerja sama dengan Levi’s. Roggenkamp dan timnya mengaku "sangat terkejut" dengan kecepatan peluncurannya, mengingat bahwa perusahaan seperti Levi’s tidak benar-benar siap untuk itu.
Namun, pilihannya adalah mengganggu diri sendiri atau orang lain yang mengganggu mereka. Levi’s tidak ingin diganggu orang dengan membawa membawa sesuatu ke pasar secara cepat dan menaruh sesuatu di depan konsumen dengan cepat.
Daripada menguji 100% atau bahkan diunggulkan, Levi’s lebih memilih bertaruh pada kecepatan daripada membuatnya sempurna - yang menurut saya merupakan perubahan budaya yang besar.
Saat ini orang hidup di zaman pilihan. Mereka terus-menerus dibombardir bujukan untuk membeli merek atau produk alternatif pada setiap aspek kehidupan.
Pada gilirannya hal ini membawa mereka mengembangkan seperangkat pertahanan yang semakin canggih, sehingga setiap perusahaan yang ingin membangun "kesetiaan merek" pada mereka semakin sulit. Semua perusahaan menuntut pembelian lebih banyak.
Akibatnya, dalam situasi pasar yang semakin terfragmentasi, hanya merek atau produk yang dapat melayani desain, kemampuan program, layanan, atau variasi yang bertahan.
Idealnya, agar perusahaan terus tumbuh, pengelola perusahaan atau merek selalu mencari dan meluncurkan produk, pasar, dan cara bersaing yang baru.
Perusahaan bisa menciptakan produk baru untuk pasar yang lama atau pasar yang baru. Sementara itu, untuk produk yang lama tetap harus dicarikan pasar yang baru sambil terus berusaha meningkatkan konsumsinya untuk pasar yang lama.
Teori gangguan (disruptif) yang dikembangkan Christensen (2002) telah memberikan gambaran bahwa sebagian besar pengelola perusahaan atau merek sebenarnya memahami bahwa pertumbuhan baru yang signifikan dan berkelanjutan ada bila perusahaan bisa menciptakan pasar dan cara bersaing yang baru. Tetapi hanya sedikit dari mereka yang melakukan investasi semacam itu untuk menciptakan pasar baru.
Hal ini dikarenakan, pertama, ketika perusahaan berjalan dengan baik dan bisnis inti tumbuh dengan kokoh, mereka merasa bahwa memulai pertumbuhan usaha dengan menciptakan generasi baru tidaklah perlu.
Kedua, ketika bisnis yang buruk dan mature (matang) diserang pesaing atau karena keadaan misalnya, investasi untuk menciptakan bisnis pertumbuhan baru tidak dapat menghasilkan keuntungan yang cukup untuk memuaskan tekanan investor.
Masalah kedua hampir tidak dapat diatasi karena hal itu juga sangat beragntung pada situasi atau orang lain. Oleh karena itu, para manajer senior harus mengkaji dan mungkin menghilangkan keengganan mereka untuk memulai usaha baru bila saatnya tepat.
Sebab bagaimanapun, unit bisnis yang bertahan dan tumbuh kokoh saat ini akan menjadi dewasa, dan dengan demikian di masa depan menjadi rentan baik terhadap gangguan internal amupaun eskternal.
Karena itu, satu-satunya cara perusahaan agar dapat mempertahankan pertumbuhannya adalah dengan meluncurkan bisnis baru yang bisa menciptakan pertumbuhan baru ketika unit intinya kuat.
Logikanya, pada saat kondisi perusahan masih kokoh, sumber daya masih kokoh pula. Harus diakui bahwa ketika perusahaan masih kokoh, tantangan seakan tidak ada sehingga bisnis berjalan dan dijalankan seperti biasa.
Penelitian Christensen (2002, 2012) menunjukkan bahwa "jika manajer senior mengikuti jalan ini, dan jika bisnis yang mereka jalani tumbuh atau benar-benar mengganggu, perusahaan akan menemukan lebih sedikit hambatan atau risiko ketimbang menciptakan gelombang demi gelombang pertumbuhan baru."